Showing posts with label SharingParenting. Show all posts
Showing posts with label SharingParenting. Show all posts

Jun 25, 2021

Hikmah Mengenalkan Literasi Sejak Dini Pada Anak









Monkey see, monkey do
Itu adalah prinsip paling mendasar jika ingin mendidik anak-anak terhadap satu kebiasaan. Jadi, apapun yang kita lakukan sebagai orang tua di hadapan anak, maka kelak kegiatan itulah yang akan diingat oleh anak-anak. Karena itulah, jika ditanya trik pertama mengenalkan literasi pada anak adalah si Orang tuanya yang melakukan kegiatan terkait berliterasi di dekat anak-anak. Apapun bentuk dan caranya, maka hal demikian akan ditiru oleh anak-anak. 

Beberapa cara yang selama ini kulakukan untuk mengenalkan literasi pada anak-anak, di antaranya:

1. Sejak anak dalam kandungan, aku sudah membacakan nyaring untuk mereka. Gak ada keharusan bacaan apa yang kuberikan, selain mengaji Quran, tentunya. Saat kehamilan pertamaku, maka hampir setiap hari dan setiap menjelang tidur malam, kubacakan buku cerita ke bayi kembar dalam kandungan. Waktu itu aku suka sekali membacakan kumpulan cerita klasik negara-negara di Asia, juga beberapa pictoral book yang menarik. Aku menggunakan suara yang cukup nyaring, karena memang hanya ada aku dan bayi dalam kandungan saja di rumah. Suami sering tugas ke offshore kala itu. Seru sekaligus menghibur hati juga, karena hanya aku sendirian dengan janin-janin dalam kandungan.

2. Saat kehamilan kedua, aku malah asyik banget menulis. Tak sekedar membaca buku saja, tapi juga menulis. Nyaris sejak hamil, hingga menjelang melahirkan, aku ketak-ketik laptop dan juga membaca banyak buku referensi. Sesekali tentu aku membacakan nyaring kepada si baby dalam kandungan. 

3. Kala kehamilanku yang ketiga, aku tidak saja asyik membacakan buku dan menulis, namun juga banyak mengajar dan sharing kepenulisan. Entah kenapa, meskipun usiaku sudah rawan untuk hamil, dan sangat merasakan kelelahan yang teramat sangat saat hamil ketiga itu, tetapi setiap kali aku sharing dan mengajar online ataupun offline, aku semangat sekali dan tidak merasakan keletihan sedikitpun. Namun, setelah selesai kegiatan, aku butuh dua hingga tiga hari untuk mencharging energiku kembali. Biasanya aku tepar di atas tempat tidur dan bed rest. 

Setelah anak-anak lahir, maka istilah monkey see monkey do, berlaku. Apapun yang kita lakukan, itulah yang dilakukan oleh anak-anak.

Ada beberapa kegiatan yang kulakukan saat anak baru satu, sudah dua dan akhirnya tiga orang di rumah. Di antaranya, aku suka sekali membacakan buku untuk mereka. Selama mereka batita, pilihan bukunya adalah soft book kayak buku kain, juga board book dan buku dengan kertas yang tak mudah sobek. 

Setelah anak-anak mulai mengenal sekolah dan gadget, maka moment membacakan buku pindah di saat menjelang tidur. Meskipun hanya 10 hingga 30 menit, hingga hari ini, aku masih rajin membacakan buku untuk putriku yang sudah kelas 8, juga putraku yang duduk di kelas 4, termasuk bungsuku yang baru berusia 1.5 tahun. 

Selain memiliki perpustakaan, aku juga membuat pojok baca. Awalnya ada di perpustakaan keluarga, namun karena fokus di perpustakaan sejak pandemik menjadi pusat belajar jarak jauh atau sekolah daring, maka pojok baca untuk anakku yang kecil, kupindahkan ke kamar utama, karena putri bungsuku masih tidur bersama aku dan suami. 


Jika sudah melakukan banyak stimulasi literasi pada anak dari dalam kandungan hingga detik ini, adakah hikmah yang dirasakan terhadap mereka? InsyaAllah ada banget. 

Untuk putri sulungku, meskipun membaca buku bukan hobby utamanya, namun kebiasaannya membuat picbook sendiri dan animasi sangat didukung oleh pola pikir cara membuat cerita. Kebiasaan dibacakan buku, membuatnya sudah paham bagaimana memulai cerita, isi cerita hingga akhir cerita. Hal ini menarik buatku, karena aku nggak pernah mengajarinya secara khusus. Sepertinya, kebiasaan membacakan buku-buku berillustrasi saat kecil dulu, mempengaruhi cara berpikirnya saat menggambar sebagai satu hal yang disukainya sejak kecil. 

Sementara, untuk putraku, dimana selama kehamilannya aku sangat suka menulis, entah bagaimana efeknya, yang pasti, dia bisa membaca dan menulis sendiri tanpa harus sulit diajari. Jika kakaknya usia 6,5 tahun baru bisa lancar membaca, itupun ada masalah juga dengan preposisi visualnya, sebaliknya, putraku malah sudah bisa membaca dan menulis di usia 3,5 tahun. Sepertinya, efek membaca dan menulis yang kulakukan selama dia ada di kandungan, terasa sekali. 

Terakhir, untuk putri kecilku, saat ini sangat suka dibacakan buku. Satu buku bisa dibaca dua sampai tiga kali, dan dia biasanya meminta dibacakan sedikitnya tiga hingga tujuh buku sekali baca. Hehehe. Putriku pun sudah terbiasa melihat aku menulis dan mencoret-coret kertas untuk membuat draft naskah. Sehingga kebiasaan ini membuatnya mengerti bahwa itulah pekerjaan ibunya. Dia nyaris tak pernah mengganggu secara khusus jika dilihatnya aku mengetik. Sering kali, jika aku mengetik, maka dia akan mengambil buku dan membuka-buka sendiri buku tersebut sampai bosan, baru kemudian minta pangku sekedar ikut menyoret kertas yang ada di hadapan kami. 

Hal utama yang mungkin patut untuk diperhatikan bagi banyak orang tua muda di luar sana, bahwa membacakan buku haruslah menyenangkan. Tidak dipaksa dan tidak perlu sampai membuat si anak merasa membaca adalah hukuman. Aku pribadi, termasuk yang memberi keleluasaan bagi anak saat memilih buku. 

Putriku suka buku komik dan animasi, tak masalah buatku. Jadi, aku membelikan buku-buku yang lebih banyak gambarnya. Meskipun usianya sudah abegeh, tapi jika membaca buku berillustrasi untuknya lebih nyaman daripada novel, maka tak kupaksakan. Aku menempatkan satu lemari buku di kamarnya, belum terlalu diliriknya, karena sebagian besar adalah novel. Namun, tak jarang, jika dia sedang ingin membaca buku (kecenderungannya adalah memilih buku bahasa Inggris) maka dia akan membaca buku tersebut hingga selesai. Tak ada patokan berapa lama dia menamatkannya. Buatku, kala dia bersedia membaca tanpa dipaksa saja, sudah lebih baik. Karena godaan gadget saat ini sangat besar. Bisa jadi dia menggambar di tabnya, dan mencari referensi tidak saja di internet, namun juga dari buku-buku berillustrasi yang dibacanya.

Putraku penggemar buku-buku non fiksi, terutama terkait peta, negara dan sejarah. Jadi buku-buku berbahasa Inggris terkait tiga hal tersebut lumayan menjadi koleksinya. Namun, aku juga mengenalkan dunia bacaan lain, terutama hal-hal yang sering ditanyakannya seputar agama dan kehidupan. Maka aku lakukan kegiatan membacakan buku satu sampai tiga bab sebelum tidur. Kadang didengarkannya dan didiskusikan. Tak jarang menjadi dongeng pengantar tidur, alias setelah mendengar kubacakan buku, dia tertidur pulas. Hehehe. Tak masalah, karena di bawah sadarnya, aku percaya, dia menyukai buku yang aku bacakan untuknya. 

Untuk putri bungsuku,  karena masih batita, aku mengenalkan lebih banyak buku-buku yang tak mudah sobek, tulisan sedikit dan gambar yang berwarna-warni. Aku lakukan kapan saja jika si anak mau. Saat bangun tidur, siang hari, sore hari, malam hari bahkan menjelang tidur sekalipun. Tak ada waktu khusus. Selama dia menyukai buku, selama itu juga aku akan mendampinginya.

Kuncinya memang satu. Monkey see monkey do.

Orang tuanya harus suka membaca, menulis dan melakukan kegiatan literasi tak jauh dari si anak. Ujian dan tantangan kita menghadapi generasi digital adalah bagaimana membuat mereka menyintai literasi tanpa paksaan. Ini berat, tapi bisa dilakukan. Meskipun kita membuka gadget di depan mereka, pastikan mereka tahu kita sedang bekerja, sekolah dan menulis serta membaca. Buku tak selamanya harus berupa kertas belaka. Ada buku eletronik yang bisa dikenalkan. Jangan berkecil hati dengan perbedaan kondisi dunia buku dulu (era orang tua seperti kita) dengan anak-anak sekarang ini. Selama pemahaman kita tentang literasi sebagai sarana mencerdaskan anak-anak melalui bacaan dan tulisan, maka konsep yang sama, meski tool atau alat yang berbeda, akan tetap membuat kita sampai pada tujuan, membuat anak-anak suka literasi dan mencerdaskan mereka sejak dini. 

*Pamulang, 25 Juni 2021



 

Sep 15, 2020

Ngakalin Anak Yang Lagi GTM



Menjadi orang tua, salah satu tantangan yang cukup berat adalah saat si anak kecil dengan kelakuan bossy ini melakukan GMT alias Gerakan Tutup Mulut.

Anakku empat orang. Salah satunya sudah dipanggil Allah di usia kandungan 29 minggu. Alhamdulillah, tiga lainnya dititipkan Allah dengan segenap perbedaan yang dimiliki oleh mereka.  Putri sulung dan putra tengahku waktu kecil atau balita demen banget melakukan GTM. 

Ada fase-fase dimana mereka senang banget makan. Tapi ada fase juga dimana mereka makan hanya sedikit atau bahkan mempermainkan makanan mereka.

Putriku yang sulung, sudah melewati fase ini. Namun saat ia dalam kondisi GTM di usianya menjelang 5 tahun.... ya Allah, rasanya aku benar-benar dalam ujian berat.

Aku pernah sampai menelpon ibuku di Palembang, dan menangis memikirkan kesehatan putriku, karena ia tak mau makan. Benar-benar tak mau. Minum susu tak mau dan aku sampai titik puncak kesabaran, hingga meledak menangis di telepon.

Ibuku lalu bilang, "Kamu dulu juga gitu. Sabar aja. Dikasih aja dulu makanan kesukaannya. Nanti lewat juga kog fase tak nyaman ini."

Rasa khawatir akan kesehatannya tersebut, membawaku konsultasi dengan dokter anak. 

Beliau akhirnya bilang, "kita pantau saja, apakah meski dalam kondisi GTM anaknya tetap happy atau nggak. Jika anaknya ceria, minum air putihnya cukup, juga masih senang ngemil atau ada asupan makanan yang masuk, meski sedikit, ya jangan terlalu khawatir. Yang penting anaknya ceria, tetap beraktivitas fisik dengan senang."

Kuperhatikan, apakah Billa, putriku demikian adanya? Alhamdulillah memang iya. Dia memang makannya sedikit, tapi aku tetap rajin meminta dan memberinya minum sesuai harusnya. Meskipun tidak mudah juga. Billa juga aktif, ceria dan terlihat bahagia dalam setiap aktivitasnya. 

Kekhawatiranku soal GTM nya ini berakhir saat dia mulai kelas 3 SD, sudah kenal jajajan dan menyukai makanan berkuah dan tempe. Alhamdulillah, dia gak pernah lagi GTM. Meskipun, kalau dipikir-pikir, lama juga dia males makan.

Hikmahnya sih, dia nggak sulit diajarin puasa sama sekali. Bener-bener nggak menyulitkan. Dia suka puasa. Karena nggak repot makan minum. Hehehe. Usia 5 tahun, Billa sudah puasa full seharian, tanpa drama sama sekali. 

Ya, mungkin itu hikmahnya ya?

Saat ini, putriku sudah meranjak remaja. Khas remaja adalah bawaannya pengen jajan dan ngemil. Billa pun sudah senang makan, bisa sampe nambah nasi jika lauknya adalah makanan favorit dan tetap makan sepiring nasi, meskipun lauknya bukan favoritnya. 

Bagaimana dengan si Putra Tengahku? Aam ternyata ada juga masanya GTM. Tapi nggak selama dia batita. Di usia itu, semuanya yang ditawarkan dia makan. Dia belum bisa bicara sampai usia 3 tahun. Bisa jadi, karena itu juga, dia nggak pernah protes dengan makanan apapun yang kuberikan.

Aku sempat bahagia, saat Aam mau makan dengan sayur, buah dan protein seperti tahu dan ayam.
Minum susunya juga jago.

Sayangnya, masa menyenangkan itu berubah, saat Aam mulai bisa berbicara dan berkomunikasi. Dia mulai bisa menolak..

"No! I dont like it!" Menjadi kalimat favoritnya. Akhirnya diapun melakukan GTM pertama kali di atas usia 3.5 tahun.

Fiuuuh, untungnya dia nggak berlama-lama melakukan GTM terhadap susu. Ayam goreng masih mampu membuatnya tergoda untuk makan, meskipun sedikit. 
Sejak usianya 5 tahun, Aam nggak ngelakukan GTM lagi,  meskipun lauknya dia milih, telur, tempe, ayam dan mie menjadi pilihannya. Tak ada sayur dan buah lagi. Hiks.

Aku sempat mengeluhkan kondisi tersebut ke dokter anak langgangan. Jawaban beliau, "Selama anaknya happy, ya nggak masalah. Soal asupan vitamin, bisa diberi suplement vitamin untuk anak-anak. Toh selama ini pupnya lancar juga kan? Nggak pernah kholik atau apa?"

Aku mengangguk. Ya, memang Aam tetap ceria meski cenderung sangat aktif. Dan belum pernah ngalamin masalah dengan pencernaan secara khusus. 

Akhirnya, kupilih untuk memantau saja. Apakah anak-anak cukup asupan cairannya dan ceria/bahagia, aktif dengan kemampuan tumbuh kembang yang jelas? 

Meskipun, ternyata Aam adalah anak gifted atau tumbuh kembang yang disinkronisasi antara kecerdasan kognitif dengan verbalnya, namun secara fisik, Aam baik dan sehat.

Sekarang, bagaimana dengan si Putri Bungsuku? Usianya baru menjelang 7 bulan. Sejauh ini, belum terlihat gejala GTM sama sekali dengan MPASInya. Meski dia senang sekali menyemburkan makanan. Hehehe.

Ya, mudah-mudahan, jikapun ada fase GTMnya kelak, aku sudah punya cukup modal pengalaman berdasarkan kelakuan kakak dan abangnya. Prinsip dasar dari dokter akan kupegang. Yakni, cukup cairan tubuh, anaknya tetap ceria dan aktif, serta terlihat cerdas sesuai tumbuh kembangnya. 

Harapanku, jika berpegang pada prinsip dasar demikian, maka sebagai ibu, kita tidak panik, tidak terlalu khawatir yang berlebihan, kala anak memasuki fase GTM. 

Kecuali, jika akibat GTM tersebut anak terlihat lesu, males-malesan dan bawaannya ingin tidur aja serta mojok nggak jelas di sudut ruangan rumah. Apalagi, diikuti gejala klinis lainnya seperti demam atau muntah, maka langsung bawa ke dokter. GTM yang demikian bisa jadi terkait asupan cairan yang minim atau ada masalah dengan pencernaanya. 

Sebagai orang tua, memang menaikkan alarm kewaspadaan itu selalu wajib hukumnya. Termasuk terhadap GTM oleh anak. Boleh santai, tapi waspada. Yang penting, menjadi orang tua dari anak yg melakukan GTM adalah tidak boleh panik. Pengalamanku mengajarkan demikian.

#diarybunda 






Jun 8, 2016

Kala Billa Menunggu Bunda





Aku kelimpungan mencari putriku.

Ya, ini gara-gara aku terlambat menjemputnya sekolah. Mulutku mulai ngedumel kesal. Ke mana anak itu perginya? Di kelas tak ada. Di kamar mandi pun tak ada. Kuteriakkan namanya, hingga menggema di gedung sekolah yang mulai lengang.

Tak sengaja, kulangkahkan kaki mendekati mushola sekolah.

Aku tertegun sebentar. Di sanalah putriku berada. Sendirian menjadi makmum perempuan, dari sekian banyak makmum laki-laki.

Di satu sisi, hatiku malu, karena telah berpikiran jelek pada putriku, yang usianya baru menjelang 8 tahun. Di sisi lain, aku terharu. Betapa di saat aku terlambat menjemputnya, ia memilih menungguku dengan sholat zuhur berjamaah.


Masya Allah



Jun 7, 2016

Perlukah Anak-anak Kita Kursus Bahasa Inggris?

Lokasi Seminar adalah tempat kursus RISE
Sangat menyenangkan bagi anak-anak


Aku menyukai bahasa Inggris sejak masih SD. Ketika Ayahku pertama kali menghadiahi satu set buku dan kaset belajar bahasa Inggris, rasa senangnya selevel jika aku diijinkan main sepeda seharian. Hehehe...

Boleh dibilang, sejak SD hingga aku mengikuti ujian masuk sekolah sampai tahap pasca sarjana, bahasa Inggris tidak pernah menjadi momok bagiku. Bahasa Inggrisku memang tidak sampai level mahir. Tapi aku yakin, aku tidak akan tersesat jika dilemparkan seseorang ke sebuah negara asing yang berbahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi mereka. :) 

Aku juga termasuk "beruntung", (pakai tanda petik), saat kedua anakku pun menyukai bahasa Inggris. Billa, putriku sejak usia 2 tahun sudah menyukai bahasa ini. Namun jeleknya, dia tak menyukai huruf-huruf, akibat masalah pada preposisi visualnya. Sehingga ia hanya senang mendengar dan melihat film berbahasa Inggris, tapi kesulitan membaca kalimat-kalimatnya jika dalam bentuk teks. Aku juga belum bisa memahami pola atau cara belajar yang tepat bagi Billa, karena ia cenderung jika belajar menyukai hal-hal yang melibatkan benda-benda di sekitarnya. 

Berbeda dengan adiknya, Aam. Sejak usia 18 bulan, dia belum bisa bicara sama sekali. Bahkan aku harus membawanya ke terapis selama setahun untuk mengatasi delay speechnya. Dan saat usianya memasuki 30 bulan, atau hampir 3 tahun, ia masih belum bisa berkomunikasi dengan baik. Hingga, suatu hari aku dikejutkannya dengan kemampuannya membaca dan bicara dalam bahasa Inggris, tanpa kuajari. 

Jun 3, 2016

Mengalirkan Cinta Lewat Bacaan



Menularkan kebiasaan membaca,
Salah satunya dengan mengajaknya ke pesta buku


Kebiasaan membaca sudah kulakukan sejak kecil. Tak ada paksaan sama sekali dari orang tuaku. Hal ini terjadi, karena aku menyontek kebiasaan Mama. Setiap kali aku pulang sekolah, jika Mama tidak sedang di dapur atau ruang tengah, aku bisa pastikan, bahwa beliau ada di kamarnya dan sedang membaca.

“Mama mana, Dek?” Pertanyaan yang rutin kutanyakan pada adik-adikku, jika mereka lebih dulu sampai di rumah, sepulang sekolah.

Salah satu dari mereka akan tersenyum dan bilang, “Mama lagi Bacaaaa!”

Tak jarang, jawaban mereka disuarakan secara bersamaan. Lalu biasanya, kami bertiga akan tersenyum geli, dan mengintip Mama yang sedang membaca sambil tiduran di kamarnya.

Jan 1, 2016

Ibu Keren Harus Tahu Tentang Apotik Asyik Satu Ini!




Aku dan anak-anak narsis saat traveling

Aku termasuk perempuan yang sudah cukup matang, jika nggak mau dibilang tua - he he he - saat memiliki anak. Putri pertamaku lahir, setelah perjuanganku berobat ke sana ke mari selama 9 tahun pernikahan, dan usiaku sudah masuk 34 tahun. Sedangkan putra bungsuku, lahir di saat usiaku 38 tahun.

Dengan usia sematang itu, kupikir,  aku merasa sudah cukup banyak mempelajari pengetahuan seputar kesehatan anak. Tak sedikit buku yang kubeli serta artikel di internet yang kubaca. Namun faktanya, tak sedikit pula, pengetahuan tentang kesehatan justru, kudapatkan lewat pengalaman tak enak terlebih dahulu.

Salah satunya, adalah saat Billa, putriku masih bayi dan masih minum asi. Meski terlahir sebagai bayi premature, Billa mendapat asupan asi yang cukup dariku. Tak sekalipun kuijinkan para suster rumah sakit untuk memberinya susu formula. Aku ingin ASI Ekslusif bagi putri yang lama kunanti kehadirannya.

Suatu hari, Billa terlihat memiliki bintik-bintik di sekujur wajahnya. Aku heran dan bercampur bingung. Billa baru berusia beberapa hari, dan masih berada di rumah sakit.

"Kenapa putriku, ya suster?" tanyaku bingung.

Suster mengamati dengan cermat kondisi kulit wajah putriku.

Sep 9, 2015

Mensiasati Anak Yang Ingin Ultahnya Dirayakan






Orang tua mana yang tidak ingin anaknya bahagia? Semuanya pasti mau kan ya?
Aku juga! Selalu berusaha agar Billa dan Aam menjadi anak yang happy. 

Khusus untuk Billa, selama dia TK, aku mengikuti maunya.. merayakan ulang tahun sebagai wujud usaha membahagiakannya. Tapi faktanya... capek juga ngurusinnya. Apalagi setelah ada Aam,... kadang susah mau belanja keperluan atau ngurusin pihak EO nya. 

Singkat cerita...sejak Billa SD,  aku sudah berniat untuk tidak merayakan ulang tahun Billa lagi di tempat ramai atau di sekolah. Alasan pertama, karena Aam belum bisa dilepas begitu saja, aku harus sering mendampinginya. Sehingga usaha mengurus ultah Kak Billa tak dapat maksimal dilakukan. Alasan ke dua, karena penghematan biaya. 

Dulu itu, waktu Billa TK, aku pernah dikasih budget "hanya" 2 juta oleh Ayahnya Billa Aam untuk merayakan Ultah Billa di sekolah. 

Berhasilkah?

Jul 28, 2015

Stimulasi Anak Lewat Contekan Dari Komunitas


Aam, 3 tahun 4 bulan
Memiliki anak yang bermasalah dalam urusan tumbuh kembang, bukanlah perkara sederhana. Kita harus mampu meluangkan waktu untuknya, bisa jadi lebih banyak dari anak yang tumbuh kembangnya normal. 

Aam, putraku yang bungsu, saat ini berusia 3 tahun 4 bulan. Ia mengalami disinkronisasi tumbuh kembang. Sempat divonis autis high funcion, tapi gejalanya menghilang. Saat ini aku melibatkan diri dalam beberapa komunitas untuk mencari tahu tentang apa yang dialami Aam ini. 

Sejauh ini, aku melihat, Aam sepertinya memiliki kemampuan visual yang bagus. Ia mampu menyebutkan alpabet dalam dua bahasa saat usianya 2 tahun. Meski terlambat berbicara, setelah setahun kubawa Aam ke terapis, saat ini kemampuan berbicaranya sudah lebih mendingan, meski hanya 2-3 kata satu kalimat. Namun kemampuannya menghapal alpabet, warna, angka, tanda atau sign dalam 2 bahasa semakin bertambah. 

Tapi, beberapa minggu terakhir ini, kemampuan berbahasa Inggrisnya melesat. Dan aku sedikit kewalahan menghadapinya, karena aku menginginkan Aam mampu berbahasa Indonesia. Ia belajar bahasa Inggris dari youtube dan channel disney dan baby tv. 


Jun 27, 2015

Anak itu Hak Allah

aku ingin hamil 



Para Saksi Hidup Itu Ada.... 

Beberapa hari yang lalu, aku bertemu sepasang suami istri yang sedang antri menunggu giliran masuk ruang periksa dokter spesialis anak. Anak laki-lakinya yang berusia 3 tahun, kelihatan sedang demam. Wajah anak tersebut merah padam, meski suara bawelnya tetap terdengar lantang.

Tertarik melihat karakter anak tersebut, aku menyapa ibunya. Kamipun terlibat obrolan singkat. Yang pasti aku jadi salut, karena mereka sudah menikah 17 tahun, dan baru punya anak di usia pernikahan ke 13 tahun.

Ugh... Aku tertegun sekaligus terharu.

Beberapa bulan sebelumnya, aku juga sempat ngobrol dengan seorang nenek yang mengantar cucunya ke sekolah (satu sekolah dengan putriku). Obrolan kamipun masuk ke area pribadi. Nenek itu bercerita jika dua orang putrinya, dua-duanya mengalami ujian lama punya anak. Putri pertamanya baru punya momongan (itu cucunya yang diantarnya setiap hari ke sekolah) di usia pernikahan ke 11 tahun. Sementara putri ke 2nya, saat ini sudah menikah lebih dari 7 tahun. Belum dikaruniai seorang anak.

Aku merasa seperti kilas balik. Teringat kembali pada saat-saat aku juga merasa ujian Allah begitu besar. Bertahun-tahun kuhadapi pertanyaan orang-orang, tentang mengapa dan apa penyebab aku belum punya anak?.

Singkat cerita, aku tahu rasanya sulit punya anak. Tekanan dari kelaurga, dari diri sendiri bahkan dari lingkungan kerja...


Jun 19, 2015

Perlukah Menyiasati Liburan Sekolah Anak?


Libur telah tiba... Libur telah tiba...:) 

Demikian jika selesai pembagian rapor atau menjelang bulan Ramadhan, umumnya, kita orang tua akan dihadapi kondisi anak-anak liburan. Lalu, apakah perlu kita menyiasati kondisi tersebut, atau membiarkan anak melakukan apapun yang dia suka selama liburan? 

Ada pro kontra mungkin tentang hal ini. Karena toh yang libur anak-anak, orang tua yang bekerja, belum tentu bisa liburan. 

Betul banget itu...:) 

Tapi, ada kalanya, perlu juga disiasati, apa saja yang bisa dilakukan dan bermanfaat bagi anak, saat mereka liburan?

Kebetulan, aku sudah memilih menjadi orang tua yang berkarir di rumah. Aku seorang ibu rumah tangga sekaligus seorang penulis. Sebelum punya anak, aku pernah berkarir menjadi PNS dan Dosen di FH Univeristas Sriwijaya, Palembang. 

Saat ini, aku terpikir, untuk memilih menyiasati liburan anak, terutama kak Billa yang baru berusia 6 tahun lebih (Akhir Agustus nanti 7 tahun) dan baru pertama kali mengalami libur panjang versi anak SD. 

Mungkin bagi orang tua, yang anaknya sudah lebih besar dari 9 tahun, memiliki pengalaman yang lebih seru. Bisa liburan ke luar kota, pulang kampung, atau si anak sendiri minta dibolehkan ikut sebuah kegiatan atau ke luar kota dalam sebuah tour. Variasi pilihan bisa jadi lebih banyak. 

Aku pribadi, bisa juga memilih hal tersebut. Namun saat ini, aku mencoba (trial dan error) untuk lebih memaksimalkan kesukaan kak Billa dalam urusan berkreatifitas. Meski tidak menutup kemungkinan, sesekali Kak Billa dan Dek Aam juga meminta keluar rumah dan jalan-jalan. :) 

Berikut beberapa siasat atau tips yang kulakukan sepanjang kak Billa liburan kali ini : 

Patah Hati Berbuah Domain Diri

Berdiri di samping banner buku " Dan Akupun Berjilbab" yang aku susun.
Isi buku ini berasal dari lomba "Jilbab Pertama"
yang aku gusung di Multiply tahun 2010, terbit 2011 akhir dan best seller di tahun 2012.


Aku sudah lama mengenal blog. Sekitar awal tahun 2004. Sebelumnya cukup rajin menuliskan kisah dan curhatan hati di blog milik (alm) Friendster.

Belajar ngeblog dengan lebih rutin justru di Blogspot, dan kemudian makin intens di Multipy, yang sebentar lagi akan "membunuh diri".

Aku benar-benar patah hati, ketika tahu Multiply tak akan lama bisa dinikmati. Nyaris pertengahan bulan Ramadan tahun 2012, aku menghentikan tulisanku di sana. Sibuk menyimpan file-file dan akhirnya migrasi ke Blogspot lamaku, dan menjajal areal baru di Wordpress.


Tapi aku kehilangan gairah ngeblog.
read more