Jun 7, 2016

Perlukah Anak-anak Kita Kursus Bahasa Inggris?

Lokasi Seminar adalah tempat kursus RISE
Sangat menyenangkan bagi anak-anak


Aku menyukai bahasa Inggris sejak masih SD. Ketika Ayahku pertama kali menghadiahi satu set buku dan kaset belajar bahasa Inggris, rasa senangnya selevel jika aku diijinkan main sepeda seharian. Hehehe...

Boleh dibilang, sejak SD hingga aku mengikuti ujian masuk sekolah sampai tahap pasca sarjana, bahasa Inggris tidak pernah menjadi momok bagiku. Bahasa Inggrisku memang tidak sampai level mahir. Tapi aku yakin, aku tidak akan tersesat jika dilemparkan seseorang ke sebuah negara asing yang berbahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi mereka. :) 

Aku juga termasuk "beruntung", (pakai tanda petik), saat kedua anakku pun menyukai bahasa Inggris. Billa, putriku sejak usia 2 tahun sudah menyukai bahasa ini. Namun jeleknya, dia tak menyukai huruf-huruf, akibat masalah pada preposisi visualnya. Sehingga ia hanya senang mendengar dan melihat film berbahasa Inggris, tapi kesulitan membaca kalimat-kalimatnya jika dalam bentuk teks. Aku juga belum bisa memahami pola atau cara belajar yang tepat bagi Billa, karena ia cenderung jika belajar menyukai hal-hal yang melibatkan benda-benda di sekitarnya. 

Berbeda dengan adiknya, Aam. Sejak usia 18 bulan, dia belum bisa bicara sama sekali. Bahkan aku harus membawanya ke terapis selama setahun untuk mengatasi delay speechnya. Dan saat usianya memasuki 30 bulan, atau hampir 3 tahun, ia masih belum bisa berkomunikasi dengan baik. Hingga, suatu hari aku dikejutkannya dengan kemampuannya membaca dan bicara dalam bahasa Inggris, tanpa kuajari. 



Aam, putraku
Gifted Child with Visual Spasial
Selalu menyukai segala hal yang berbau Huruf, Angka hingga Merek :) 

Puncak-puncaknya, aku tahu Aam lebih cenderung berkomunikasi dalam bahasa Inggris, saat kami bertiga hendak makan sesuatu di sore hari beberapa bulan silam. 

"Am, Aam harus cuci tangan sebelum makan." kataku sambil menunjuk tangannya dan mengarahkannya ke wastafel. Tapi Aam hanya senyum dan berusaha mengambil makanan tanpa mencuci tangannya. Nyaris 3 x aku mengulang kalimat harus cuci tangan, namun Aam terkesan tidak peduli. 

Iseng kuganti kalimat menjadi, "Am, you have to wash your hand, before eating."  Dan ajaib. Aam langsung bilang "Oh, OK Bunda," dan berjalan menuju wastafel lalu mencuci tangannya. 

Aku terpaku. 

Wah... kejutan apa yang diberikan Aam padaku? Sejak itu, komunikasiku dengan Aam terjalin lebih baik melalui bahasa Inggris. Meski sekali-kali aku tetap menyebutkan bahasa Indonesianya. 

Duh Tuhan, sistem apa yang cocok untuk Aam belajar kelak, ya? Terus terang, aku sedikit galau soal pemilihan sekolah, meskipun saat ini, aku telah mendaftarkannya ke sekolah yang sama dengan kakaknya. 

Anyhow.... aku sempat terpikir untuk mencoba mencari kursus bahasa Inggris untuk mereka. Namun mencari kursus yang tepat, sama sulitnya dengan mencari sekolah yang tepat bagi anak-anak unik seperti anak-anakku. Karena mereka tipikal tak bisa diam, selalu bergerak, dan memiliki keistimewaan. Billa dengan kekurangannya pada masalah preposisi visual, sementara Aam dengan "label" gifted child yang diembannya,  setelah dikonsultasi serta diobservasi oleh psikolog anak khusus Gifted child beberapa bulan lalu. 

Namun, di sisi lain, aku sering kali berpikir, jika orang tua sudah mampu berbahasa Inggris, apakah masih perlu anak-anakku kursus lagi? Tidak cukupkah di rumah saja? Toh aku pun di rumah seharian.  

Saat aku sedang galau seperti itu, tiba-tiba aku mendapat whatsapp dari salah satu admin KEB, cici Tanti. Ia menanyakan, apakah aku punya waktu untuk menghadiri seminar tentang cara mengoptimalkan kemampuan dan elastisitas belajar anak di usia dini atau Optimizing Child's Learning Ability and Elasticity in Early Childhod bersama Mr. Hanlie Muliani, M Psi, seorang psikolog anak. Kegiatan itu berlangsung di sebuah kursus bahasa Inggris, yang sudah pernah kudengar sebelumnya dari sahabatku. Yakni di RISE Living World Alam Sutera. 

Dengan senang hati, kusanggupkan ajakan itu. Apalagi kudengar, seminarnya boleh membawa anak dan suami. Bahkan anak-anak justru dibolehkan trial kelas, atau mencoba beberapa kelas milik RISE di sana. Wah, pucuk dicinta ulam tiba. Minimal aku bisa melihat langsung pola pendidikan kursus bahasa Inggris  yang sudah memiliki 4 cabang, selain di Living World tersebut. 
Aku dan Putriku, sesaat setelah kegiatan berlangsung

Alhamdulillah, aku tiba tepat waktu. Tak lama setelah kehadiran kami, kegiatan seminar dimulai. Ms Hanlie menjelaskan tentang detail perkembangan serta pembentukan neuron dalam otak manusia, terutama pada anak-anak di usia tumbuh kembang emas mereka. 

Dari sekian panjang penjabaran psikolog anak yang telah menerbitkan buku berjudul "How to Deal with Your Child" ini, aku justru tertarik saat ia menjelaskan tentang 8 kecerdasan manusia. Mulai dari Language Intelligence, Logic Mathematic, Visual Spatial, Music, Physical, Nature, Intrapersonal hingga Interpersonal Intelligence. 

Sebetulnya bukan hal baru buatku. Apalagi era canggih sekarang, kita bisa mencari informasi tentang hal ini, dengan menulis kata kunci di Google dan menemukan banyak info tentang kecerdasan manusia. 


Kecerdasan Berbahasa terkait pada masa keemasan anak
Usia 0 sampai 12 tahun adalah era stimulasi yang paling tepat

Namun, Ms Hanlie membuka mataku, bahwa tidak masalah mengenalkan semua aspek kecerdasan itu pada anak. Tidak hanya pada kecerdasan yang menonjol saja. Karena pembiasaan menstimulasi segenap kecerdasan tersebut dapat memantik kemampuan lain di masa depan. Neuron di otak anak-anak itu akan terus bekerja menjalin satu sama lain, apabila mendapatkan stimulasi yang tepat. 

Penggunaan kata stimulasi yang tepat ini, dicontohkannya dengan penggunaan banyak bahasa di rumah pada anak, tanpa perlu khawatir bingung bahasa. Jadi Ms Hanlie menyontohkan, jika ada 3 orang dewasa di rumah, dan ketiganya fokus dan konsisten pada satu bahasa masing-masing, misalnya Si Ayah dengan bahasa Indonesia, si Ibu dengan bahasa Inggris, lalu si Nenek atau Baby sitter dengan bahasa Jawa atau bahasa daerah, maka ini tidak akan menimbulkan kebingungan bahasa. Anak dengan sendirinya akan beradaptasi atas stimulasi yang dilakukan, dan kelak ia justru akan mampu menggunakan 3 bahasa. Tentu syarat utamanya adalah fokus dan konsisten yang datang dari para orang dewasa di sekitarnya. 


Pada akhirnya kecerdasan anak, harus distimulasi secara holistik

Aku jadi ngeh, bahwa aku melakukan hal yang tidak tepat terhadap Aam. Aku membuatnya bingung dengan bahasa yang kugunakan selama ini. Setelah mendengarkan  penjelasan Ms Hanlie ini, aku berniat mencoba memperbaiki cara komunikasiku pada Aam. Meminimalisir bahasa Indonesia denganku. Biarlah ia bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia dengan ayahnya saja. Tapi memang kuakui, aku pribadi butuh komitmen dan harus mau belajar lagi, mengingat bahasa Inggrisku tidak terlalu baik. 


Ms Imelda sedang menjelaskan kelas Multi Intelligence yang akan digunakan di RISE

Seminar ini kemudian, dilanjut dengan pemaparan pengalaman dari Ms Imelda. Salah satu pengurus RISE Living World Alam Sutera. Ia baru bergabung Januari lalu dalam manajemen lembaga pendidikan yang didesain secara khusus untuk anak usia 2 hingga 12 tahun tersebut. Aku pribadi menyukai atmosphere lokasi RISE. Selain membuat anak-anak terpikat karena warna dan desain yang asyik, juga karena pola pengajaran juga canggih. Mereka menggunakan  board magic, atau papan tulis yang merupakan layar sentuh dengan ukuran besar. 


perpustakannya keren ya
ruang tunggunya juga asyik
Kalau ini kayaknya ruang konsultasi


Pengalaman yang dibagi oleh Ms Imelda adalah terkait karakter anak-anaknya yang juga berbeda dari anak-anak normal lainnya. Ia memaksa dirinya untuk mencari tempat pendidikan yang tepat bagi anak-anaknya tersebut. Ms Imelda sendiri menyebutkan bahwa dirinya juga tipikal orang dengan kecerdasan kinestetis. Ia membutuhkan benda yang harus dipegang atau dikaryakan dalam menjelaskan sebuah pengetahuan. 

Tring!

Aku jadi semakin tertarik akan penjelasannya tersebut. Ia menjelaskan juga, perbedaan kecerdasan kinestetis dengan kecerdasan audio, dimana anak yang bersikap seperti tidak memperhatikan, namun memiliki kemampuan mendengar yang baik dan langsung menyerapkannya menjadi pengetahuan, berbeda dengan anak visual, yang selalu butuh memvisualisasikan semua pengetahuan yang diserapnya. 

Aku jadi teringat Billa, putriku yang menurut wali kelasnya, baru akan mencerna pelajaran kelas 2 nya, jika diberikan contoh atau dibuatkan kegiatan sains atau prakarya terkait ilmu pengetahuan di kelas. Aku jadi ngeh, bahwa bisa jadi, putriku yang tak bisa diam ini, mendasarkan kemampuan menyerap pengetahuannya, berdasarkan kecerdasannya secara kinestetis. Makanya ia selalu mampu menjawab pertanyaan jika sudah dilakukan percobaan dan ia terlibat di dalamnya. 

Berbeda dengan Aam, yang menurutku memiliki kemampuan visual. Karena ia mampu membaca dan menulis serta berbahasa Inggris karena ia jatuh cinta bahkan terobsesi dengan segenap bentuk film alpabet dan angka di tivi dan tabku. 

Sungguh, aku mendapatkan pencerahan atas pemaparan dari Ms Imelda. Aku tertarik dengan penjelasannya, bahwa RISE menggunakan metode belajar yang disesuaikan dengan tahapan perkembangan dan kemampuan si anak dalam berbahasa. Bahkan RISE Living World sedang menyempurnakan sebuah kelas yang mendukung 8 kecerdasan. Sehingga setiap anak kelak berbicara dalam bahasa Inggris di kelas tersebut disesuaikan dengan minat dan kecerdasan yang menonjol. 

Sebelum seminar ditutup, tentu selalu ada sesi tanya jawab. Aku selalu suka sesi ini, karena juga memberikan banyak pencerahan dari para peserta seminar. Selain memang selalu ada hadiahnya sih. Hahaha. 

Aku sendiri mendapatkan hadiah voucer 750.000 dari RISE, atas pertanyaanku terkait Aam yang gifted dan Billa yang bermasalah pada preposisi visual. Jawaban dari kedua narasumber sungguh membangkitkan semangat juangku untuk mengenalkan bahasa Inggris pada mereka, serta memahami pola belajar mereka yang berbeda. Dan satu lagi, aku juga jadi tidak merasa perlu khawatir atas tumbuh kembang mereka yang unik. Selama aku konsisten dengan pemahamanku terkait kecerdasan anak-anakku yang menonjol. Alhamdulillah. 


Rejeki emang gak kemana.. :)

Waaah, sepertinya, RISE dapat menjadi salah satu alternatif pilihan bagi orang tua, untuk menstimulasi anak-anak berbahasa Inggris dengan metode yang menyenangkan dan cerdas. 

Sahabat sekolahku yang telah menitipkan anaknya di RISE Living World, mengakui jika perkembangan pribadi dan kemampuan berbahasa putrinya semakin baik dan berkembang sejak dikursuskan di sana. 

Kalau sudah begini, kupikir, aku tak perlu ragu lagi mengkursuskan anak-anak untuk menambah kemampuan berbahasa Inggris, jika ada pilihan tempat yang tepat seperti RISE. Betulkan? 




* Semua foto adalah dokumentasi pribadi penulis

No comments:

Post a Comment

Patah Hati Berbuah Domain Diri

Berdiri di samping banner buku " Dan Akupun Berjilbab" yang aku susun.
Isi buku ini berasal dari lomba "Jilbab Pertama"
yang aku gusung di Multiply tahun 2010, terbit 2011 akhir dan best seller di tahun 2012.


Aku sudah lama mengenal blog. Sekitar awal tahun 2004. Sebelumnya cukup rajin menuliskan kisah dan curhatan hati di blog milik (alm) Friendster.

Belajar ngeblog dengan lebih rutin justru di Blogspot, dan kemudian makin intens di Multipy, yang sebentar lagi akan "membunuh diri".

Aku benar-benar patah hati, ketika tahu Multiply tak akan lama bisa dinikmati. Nyaris pertengahan bulan Ramadan tahun 2012, aku menghentikan tulisanku di sana. Sibuk menyimpan file-file dan akhirnya migrasi ke Blogspot lamaku, dan menjajal areal baru di Wordpress.


Tapi aku kehilangan gairah ngeblog.
read more