Jun 3, 2016

Mengalirkan Cinta Lewat Bacaan



Menularkan kebiasaan membaca,
Salah satunya dengan mengajaknya ke pesta buku


Kebiasaan membaca sudah kulakukan sejak kecil. Tak ada paksaan sama sekali dari orang tuaku. Hal ini terjadi, karena aku menyontek kebiasaan Mama. Setiap kali aku pulang sekolah, jika Mama tidak sedang di dapur atau ruang tengah, aku bisa pastikan, bahwa beliau ada di kamarnya dan sedang membaca.

“Mama mana, Dek?” Pertanyaan yang rutin kutanyakan pada adik-adikku, jika mereka lebih dulu sampai di rumah, sepulang sekolah.

Salah satu dari mereka akan tersenyum dan bilang, “Mama lagi Bacaaaa!”

Tak jarang, jawaban mereka disuarakan secara bersamaan. Lalu biasanya, kami bertiga akan tersenyum geli, dan mengintip Mama yang sedang membaca sambil tiduran di kamarnya.


Kami sekeluarga juga punya perpustakaan kecil. Mama mengoleksi ratusan hampir seribu judul novel. Belum lagi majalah langganan yang selalu jadi rebutan aku dan adik-adik. Bahkan, teman baik dan keluarga sering datang ke rumah untuk meminjam buku. Mama menyiapkan satu buku khusus untuk mencatat siapa dan buku apa yang dipinjam.

Kondisi ini tercipta tanpa kutahu kapan mulainya. Yang kuingat, Mama membaca saat menyusui adikku yang bungsu. Mama juga membaca, saat pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga sudah tak banyak lagi. Mama memulai pagi harinya, dengan membaca majalah dan koran langganan yang datang. Ia juga selalu membaca di perjalanan keluar kota. Dan hingga detik ini, buku tak pernah jauh dari Mama.

Karenanya, bukanlah hal yang aneh, jika akupun bercita-cita ingin menularkan kebiasaan membaca pada anak-anakku kelak. Seperti yang dilakukan Mama.

Namun, kenyataan untuk mewujudkan cita-cita itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Kehadiran anak-anak dalam keluarga kecilku, ternyata tidak dalam waktu dekat. Bertahun-tahun, aku menahan rindu untuk dapat membacakan buku pada anakku. Menahan rasa sakit hati,  saat orang-orang lain mempertanyakan kehadiran anak dalam pernikahanku. Dan menahan kelu, di kala melihat anak-anak orang lain  berlarian penuh semangat di toko buku kesukaanku dan suami.

Nyaris sembilan tahun keadaan itu berlangsung. Aku bahkan menutup rapat impian untuk menularkan kesukaanku membaca pada keturunanku. Suami yang sabar, terus menyemangati, bahwa hanya Allah yang Maha Hak atas kehadiran anak di dalam sebuah keluarga. Suami tetap rutin mengajakku ke toko buku. Bahkan, kebiasaan ke bazar buku di manapun dan kapanpun, kami lakoni berdua, tanpa mengharapkan lagi ada anak-anak yang ikut bersemangat memilih judul buku untuk dibaca.

Kesabaran suami itu menular padaku. Dan Allahpun akhirnya menjawab doa, kesabaran dan mimpi kami. Saat awal tahun 2008, aku dinyatakan hamil. Janinku kembar. Allahu Akbar!. Airmata bahagiaku tak putus, sejak dari tempat pemeriksaan dokter, hingga keluar ruangan dan menelpon suamiku yang bertugas di offshore.

Impianku untuk mengajari anak-anakku sudah di depan mata. Sejak usia kandunganku 6 minggu, aku mulai membacakan buku cerita anak,  selain Alquran, utamanya,  kepada para janin tersebut.

pinjam dari sini

“Assalamualaikum, kalian sudah siap untuk dibacain buku?” Demikian sapaanku saat hendak membaca pic book atau kumpulan cerita anak-anak untuk para janin. Di awal-awal kehamilanku sih, tidak ada reaksi dari para janin tersebut. Namun saat kandunganku memasuki usia 16 minggu, dan aku mendapat tendangan halus pertama kali, Subhanallah, sejak itu, setiap kubacakan buku, ada saja gerakan halus dari mereka berdua di dalam perut.

Semakin aku bersemangat membacakan buku, (terus terang, karena aku hanya bertiga dengan para janin saja di rumah, suamiku sering ke offshore selama seminggu atau dua minggu), semakin seru caraku membaca. Aku membacakan buku tersebut dengan intonasi mendongeng. Tidak sekedar  membacakan begitu saja, namun suaraku akan terdengar dengan lantang. Intonasiku turun naik, memberat dan mengecil. Melembut atau menjadi keras, dan selalu berubah sesuai karakter tokoh dalam buku tersebut.

Aku benar-benar menikmati kebiasaan membacaku sepenuh jiwa. Ada cinta yang menelusuk dalam hati dan bisa jadi menjalar pada janin dalam kandunganku. Mereka berdua menjadi tenang saat aku mulai membaca Al-quran dan juga buku cerita.

Hingga tiba datangnya sebuah ujian bagiku. Saat salah satu dari bayi-bayi itu kembali ke pangkuan Allah dan menyisakan seorang bayi dalam kandungan untuk berjuang hidup. Aku nyaris kehilangan semangat membacakan buku. Aku harus berjuang untuk tidak sedih berlebihan. Dan itu sangat tidak mudah.

Bayangkan! Sembilan tahun kunanti, dan Allah berikan calon anak kembar, tahu-tahu salah satunya harus pergi mendadak. Lalu aku berbaring lemas di rumah sakit memperjuangkan hidup calon bayiku yang masih bertahan.

pinjam dari sini

Buku La Tahzan dan Alquran adalah teman baikku selama di rumah sakit. Kedua buku itu kubacakan pelan-pelan dan lirih. Agar tetap terdengar oleh si calon bayi. Tak jarang, aku mengelus perutku sambil berucap “Nak, dengarkan bacaan Bunda ya. Bantu Bunda untuk tidak bersedih atas kepergian saudara kembarmu.”

Airmataku selalu tumpah. Janin yang meninggal itu masih ada dalam kandunganku. Aku terus berdoa agar calon bayi yang masih hidup tidak terkena racun atau apapun namanya, dari kandungan janin yang meninggal. Mereka memang kembar beda kantung janin. Dokter menyatakan kemungkinan besar yang meninggal adalah laki-laki berdasarkan hasil usg. Sementara yang berjuang hidup, adalah yang perempuan.

Selama membacakan buku cerita sebelum kepergian janin laki-laki. Aku selalu menyebutkan nama mereka. Billa dan Miftah.

Karenanya, selama sebulan di rumah sakit, aku terus membacakan buku cerita, selang-seling dengan alquran dan buku La Tahzan untuk Billa. Aku tahu, sebetulnya aku mengobati  hatiku sendiri. Tapi kupikir, momen membacakan cerita ini, jangan sampai dilupakan. Hingga akhirnya Billa lahir. Meski perjuangannya untuk hidup tidak mudah. Aku masih terbanyang betapa banyaknya selang dan kabel melilit tubuh kecilnya, saat aku belajar menjadi ibu dalam arti sebenarnya.

pinjam dari sini

Kebiasaan membaca terus kutularkan. Setiap malam, kubacakan serial Halo Balita untuk Billa. Hingga detik ini, saat usia Billa sudah mendekati angka 8 tahun, ia sangat menyukai moment dibacakan buku. Terutama karena Billa memang masih mengalami masalah dengan “preposisi visual”, yang membuatnya agak sulit membedakan beberapa huruf. Hingga akhirnya, membaca menjadi sebuah perjuangan bagi Billa. Namun ia sangat senang dibacakan buku. Jika tidak kucukupkan bacaan, bisa-bisa setiap membacakan buku menghabiskan 3 sampai 5 buku. Alamat nggak tidur-tidur anak ini. J

Lain Billa, lain pula dengan adiknya.

Allah Maha Baik Hati. Setelah kepergian Miftah, beberapa tahun kemudian, rahimku dititipkanNya, seorang anak laki-laki lagi. Kupanggil Aam, meski nama lainnya adalah Ammar Al Mumtaz kudapatkan dalam mimpi.

Kulakukan lagi kebiasaan membacakan cerita saat kandunganku mulai berusia 8 minggu.  Billa pun sungguh bersemangat.

“Dek, hari ini Bunda mau bacain buku. Adek dengerin baik-baik ya!” demikian gaya sok tua Billa jika kumulai membacakan buku sebelum tidur.

Dibandingkan saat mengandung Billa, kebiasaan membacakan buku pada Aam tidak terlalu banyak. Meski Alquran selalu kubacakan, tapi membacakan buku cerita hanya kulakukan malam hari. Aku yang kala itu sudah menjadi penulis cerita anak, mendapatkan order menulis novel genre anak dari beberapa penerbit.

Oleh karena itu, kebiasaan membacaku tidak lagi menggunakan suara  mendongeng.  Aku lebih sering membaca buku untuk referensi tulisan novel yang kugarap.

Tak jarang, saat aku menulis dan mengetik, Aam dalam kandungan menendangku. Kuletakkan tangan ke daerah perut yang ditendangnya, lalu kubilang, ”Am, bantu Bunda yuk. Bunda mau namatin naskah ini. Nanti Aam kalau besar, jadi penulis kayak Bunda ya… Bahkan lebih hebat lagi ya, Nak. Kelak, Aam jadi penulis yang berkeliling dunia karena tulisan Aam. Dicintai para pembaca dan menjadi referensi bacaan orang lain. Nanti Aam jadi seperti Buya Hamka, ya, Nak.”

Kalimat ini sering kukatakan. Biasanya Aam tidak lagi menendangku. Perutku pun tidak menegang. Dan aku kembali dengan lancar mengetik naskah.

Terus terang, entah karena memang aku sedang giat-giatnya menulis, atau memang efek dari kehamilan. Selama mengandung Aam, bacaanku adalah buku-buku anak, dan aku sangat  produktif. Aku menghasilkan 3 novel anak selama mengandung Aam.

Ini adalah 3 novel anak yang kuhasilkan selama Aam dalam kandunganku

Aku yakin, Aam mendengar suara keyboard diketuk. Menjadi saksi gumamanku saat membaca ulang adegan-adegan dalam novel, sampai-sampai, mungkin Aam mengenal para karakter tokoh dalam tulisan tersebut.

Buah dari kegiatanku mengalirkan rasa cinta terhadap bacaan, ternyata muncul pada diri anak-anakku.

Billa memiliki kemampuan menggambar cerita dengan runut. Aku tidak pernah mengajarinya cara membuat pic book sama sekali. Billa bisa dengan serta merta mengambil 12 kertas kosong, lalu menggambarkan adegan demi adegan, mulai dari pembukaan cerita, konflik hingga solusi. Tentu dengan pola pikir anak yang belum berusia 6 tahun.

Ia bahkan menghadiahi picbook karyanya untuk kawan sekelas dan meminta gurunya membacakancerita tersebut. Aku sungguh tak menyangka hal itu bisa terjadi. Meski sekarang, Billa sudah mengalihkan kebiasaan menulis pic booknya dengan bereksperimen membuat sesuatu dari barang bekas, namun aku yakin, semua itu karena kebiasaanku berimaginasi melalui bacaan buku, lalu menular dan membekas pada jiwa Billa.

Beda lagi, dengan adiknya. Meski sempat divonis autis, dan akhirnya dinyatakan sebagai gifted child (anak berkemampuan intelektual di atas rata-rata, namun tidak sinkron dengan tumbuh kembang social dan komunikasinya), Aam juga memberikan kejutan.

Untuk Aam, Buku bernuansa alpabet dan angka adalah harta karun!

Di usianya 2 tahun, ia sudah mampu menyebut alphabet dalam dua bahasa. Hingga kejutan paling puncak, saat usia 3 tahun, ia sudah bisa menulis kata dan membaca dalam dua bahasa. Aku benar-benar tak bisa percaya. Karena semua itu terjadi sendiri. Tak pernah aku mengajarinya. Bisa jadi ia belajar dari youtube. Ia penggemar lagu-lagu bertema alphabet. Hingga akhirnya, Aam memiliki kosa katanya ribuan dalam Bahasa Inggris. Aku sampai-sampai, harus terus melatihnya untuk bisa berbahasa Indonesia.

Salah satu temanku malah bercanda dan bilang,  “Akhirnya Cinta Laura punya adik juga.” Gara-gara ia geli mendengar cara Aam membaca buku Bahasa Indonesia dengan dialek Inggris.

Bagi Billa, buku tentang Prakarya adalah Harta karun!

Sungguh! Aku merasakan sekali getaran cinta melalui Bacaan itu pada anak-anakku. Meski pengaruhnya tak terduga. Kupikir mereka akan menjadi kutu buku, atau minimal seperti aku, penggemar bacaan. Namun faktanya Billa dan Aam memilih cara mereka sendiri. Billa hanya menyukai buku craft atau semua jenis buku prakarya untuk dibacanya. Sementara Aam menyukai semua buku yang ada unsur Alphabet atau cerita terkait huruf dan angka.

anak-anak selalu senang dibawa ke pesta buku

Tapi, hal yang paling khas adalah…, saat Aam tantrum atau kesal. Juga, kala Billa rewel atau cengeng. Maka, obat untuk mereka adalah dibacakan buku cerita. Biasanya, setelah membaca buku ke 2 atau ke 3, tantrum dan rewel dari anak-anak super aktif ini akan berkurang dan menjadi tenang. Meski tak jarang rasa letih dan kantuk telah menyerangku, namun kupaksakan untuk terus membacakan buku bagi mereka, hingga mereka bosan. Entah kapan. 

Semoga tidak pernah.

Pamulang, 4 Juni 2016




No comments:

Post a Comment

Patah Hati Berbuah Domain Diri

Berdiri di samping banner buku " Dan Akupun Berjilbab" yang aku susun.
Isi buku ini berasal dari lomba "Jilbab Pertama"
yang aku gusung di Multiply tahun 2010, terbit 2011 akhir dan best seller di tahun 2012.


Aku sudah lama mengenal blog. Sekitar awal tahun 2004. Sebelumnya cukup rajin menuliskan kisah dan curhatan hati di blog milik (alm) Friendster.

Belajar ngeblog dengan lebih rutin justru di Blogspot, dan kemudian makin intens di Multipy, yang sebentar lagi akan "membunuh diri".

Aku benar-benar patah hati, ketika tahu Multiply tak akan lama bisa dinikmati. Nyaris pertengahan bulan Ramadan tahun 2012, aku menghentikan tulisanku di sana. Sibuk menyimpan file-file dan akhirnya migrasi ke Blogspot lamaku, dan menjajal areal baru di Wordpress.


Tapi aku kehilangan gairah ngeblog.
read more