Oct 18, 2017

Nasehat Untuk Mereka Adalah Untukku Juga



Para perempuan keren itu.
Aku belajar banyak dari mereka 


Ini kali ke 2.
Niatku kembali kuluruskan. 
Tidak untuk kepo atau sekedar ingin tahu. Tapi justru, karena Allah sepertinya mengantarkan jalannya kepadaku melewati cara yang penuh rahasia.

Pertemanan dengan para ibu dari Gerakan Peduli Remaja ini, bukan sebuah pertemanan yang lama. Setengah mendadak. Setengah uji coba. Setengah uji nyali. Sisanya adalah kebiasaan buruk dengan senang menjalani sebuah tantangan. Jadi awalnya hanya karena itu. Aku mengenal Kak Wyk lewat dunia menulis, namun dengan mbak Suci dan mbak Lisya justru on the spot. Beberapa minggu lalu saat pertama kali aku mencoba bergabung ke sana. 

Tapi, tentu saja, hasil awalku adalah tangis. Sementara paska dari kegiatan itu mentalku ngedrop.

Shock.

Jika tak percaya, silahkan baca curhatku kala pertama kali ke tempat ini. Catatanku beberapa waktu lalu masih menyisakan banyak hal dalam pikiran dan mentalku. 


Sehari sebelum berangkat ke LPKA Pria (Lapas Anak Laki) di Tangerang, kucoba WA Kak Wyk. Tema apa yang akan dibahas besok dan apa yang perlu dibawa? 

"Bersyukur, dan kita minta mereka menulis tentang hal itu. Jangan lupa bawa kertas serta pena aja." Demikian kiranya jawaban Kak Wyk. 

Aku berpikir keras. Bersyukur.

Sebuah kata sederhana, tapi sungguh tidak mudah melakukannya. Bahkan tidak juga oleh orang yang bebas di luar Lapas seperti aku. Tapi, aku jadi ingin tahu. Apa yang akan anak-anak itu tulis besok?

Dan, Selasa pagi, pukul 10 kurang, aku telah memarkir kendaraan, menanti Kak Wyk, Mbak Suci dan Mbak Lisya yang sudah berkecimpung dalam urusan ini dari Gerakan Peduli Remaja sejak 5 tahun lalu.

Video keberadaan kami bisa dilihat di IG kak Wyk di sini :


Mencoba bersabar dengan komentar dan pertanyaan
Tidak mudah, tapi tidak sulit juga 

Apa kabar hatiku? Tidak deg-degan seperti beberapa waktu lalu kan?

Alhamdulillah, kali ini aku lebih siap mental. Tapi siapa bilang, kalau aku tetap bisa tenang keluar dari pintu Lapas tersebut? Nggak benar. Aku masih KO. Mentalku terombang-ambing paska pertemuan ke 2 ku dengan mereka.

Pukul 11.00 satu persatu mereka datang. Anak-anak usia belasan tahun. Dengan beragam pola tingkah, wajah dan kelakuan. Namun membawa diri dengan pandangan mata yang sama. Pandangan jiwa yang tidak bebas dan sedang menjalani hukuman mereka.

Dari hukuman yang hanya 4 bulan karena mencuri batu akik dan handphone, hingga tahunan karena perkosaan ataupun pembunuhan. Astargfirullah. Aku berulang kali istigfar dalam hati, saat menghadapi mata remaja yang pernah melakukan perbuatan seram tersebut.

Kualihkan rasa khawatir ataupun penghukumanku pada mereka. Kuluruskan kembali niat keikutsertaan ke sana. Bukan sekedar ingin tahu. Bukan sekedar adu nyali. Tapi aku belajar memberikan waktu sedikit untuk mendengarkan mereka, konseling dengan modal pengetahuan yang sedikit, namun paling tidak aku dan teman-teman punya kemampuan atas pengalaman hidup dan bacaan. Tidak mudah, namun tidak sulit.

Aku mengikuti arahan mbak Suci dan teman lainnya. Kami pun berbagi tugas. Satu demi satu, anak-anak tersebut datang. Kami beri kertas. Kami minta mereka menuliskan rasa syukur yang dirasakan selama di Lapas, selama 24 jam menjalani satu hari satu malam di sana. 

Awalnya ada rasa bingung di mata mereka. Mungkin muncul pikiran, bagaimana mungkin bersyukur di dalam tempat terkurung?
Aku pelan-pelan jelaskan, bahwa napas dan oksigen adalah hal pertama yang patut disyukuri saat bangun pagi menjelang sholat Subuh di Lapas. Perlahan, mereka mulai paham. Syukur bukanlah perkara berada di luar Lapas. Tapi juga hal-hal "baik" yang didapat selama di dalam Lapas.

Mulailah, tangan mereka menuliskan semuanya. Ada juga kejadian nyontek jawaban, hehehe. Atau sambil tiduran. Saling ejek atas isi tulisan mereka. Ada yang serius menanggapi urusan curhat ini, tak sedikit cuwek dan menganggap sepele urusan ini. 

Satu persatu kuperhatikan sikap mereka. Hela napas perlahanku tak terdengar. Tapi aku berusaha kuat agar mereka tak mengetahui pikiranku saat itu. 

Jelas sekali pikiran ini bermain saat mereka menulis.

Bagaimana hidup seorang laki-laki jika telah keluar dari Lapas? Bagaimana masa depan mereka? Kenapa yang hukumannya hanya 4 bulan bisa bergabung dalam satu lingkungan dengan yang dihukum tahunan karena hal yang luar biasa mengerikan seperti perkosaan dan pembunuhan? Bagaimana kebiasaan mereka yang senang "berbohong" menjadi bertubi-tubi muncul, jika mereka tidak diajarkan martabat diri? bukankah Laki-laki dilihat dari penjagaan lisan mereka?. Pembohong tidak akan dapat diterima di masyarakat.

Sebagian anak-anak remaja ini, ada yang terlihat apa adanya, namun tak sedikit yang senang berkata beda atau menghayal. Satu dua kuperhatikan karakter tersebut. Senyum kuulas, tapi hatiku sedih. 

Waktu kami memang hanya sedikit. Kurang dari 1 jam di sana.

Kubacakan beberapa kertas yang telah ditulis. Obrolan seputar catatan mereka muncul. Ada tulisan bersyukur karena masih bisa makan indo mie. Ada rasa syukur karena kehadiran kami membawa gorengan. hehehe. Dan banyak hal lainnya. 

Pada akhirnya, kami tak sekedar bicara tentang bersyukur tapi juga bagaimana cara bersyukur. 

Aku menggunakan satu-satunya senjata bersyukur yang paling mendasar. Yakni berdoa dalam sholat. Apalagi, rata-rata jawaban mereka adalah bersyukur bisa sholat 5 waktu selama di Lapas. Subhanallah...

Sementara, saat kutanya, "Bagaimana jika di luar Lapas? Apakah kalian tetap sholat?" 

Sayangnya, hanya dunia sinetron yang akan menjawab "iya". Karena faktanya mereka menjawab, "tidak tahu Bunda... atau malas Bunda". Astargfirullah...

Aku dibesarkan oleh keluarga islam, namun tidak fanatik. Tapi kebiasaan sholat sudah dijadikan bagian dari hidup. Ibarat helaan napas dan oksigen, demikianlah kebutuhan hidup kami dengan sholat. 

Adalah hal yang luar biasa, mendapati anak-anak ini merasa bersyukur bisa sholat 5 waktu selama di Lapas, namun tak yakin dapat melakukannya lagi jika berada di luar. Isi perutku layaknya kupu-kupu. Ada yang terbang dan tak nyaman di sana....

Apa yang aku dapat lakukan?
Kucoba mengajak berdebat, tentang untuk apa sholat? Rata-rata menjawab, karena kita orang islam atau muslim. Atau karena kita perlu untuk berdoa pada Allah. Jawaban yang diplomatis dan teoritis. Tak satupun merasa, bahwa sholat adalah pondasi hidupnya. Tak ada pondasi, tak akan ada bangunan di hati  dan diri mereka. 

Aku terus terang, mengalami kesulitan untuk membuka mata hati mereka perihal pentingnya sholat, dalam bahasa sederhana dan praktis. Tapi, perdebatan kami kemaren justru menimbulkan banyak pertanyaan pada mereka. Wajah dan mata ingin tahu muncul. Mungkin hati mereka heran, kenapa Bunda ini mempertanyakan perlunya sholat?

Aku hanya bisa menghela napas berulang kali. Nasihat bersyukur dan sholat itu sebetulnya bukan untuk mereka belaka. Egoku menyatakan, bahwa itu juga nasihat buatku.

Aku yang jarang bersyukur ini, cepat-cepat berhamdalah berulang kali dalam situasi tersebut. Aku tau-tau mendadak merasa minim syukur, dan mempertanyakan kembali ibadah sholatku selama puluhan tahun terakhir ini. Pertanyaan untuk mereka, juga untuk diriku. Untuk apa aku sholat selama ini? 

Allah... 

Demikianlah caraMu menyentil hati hambaMu ini... 

Salah seorang anak remaja itu lalu bertanya... "Kenapa bisa doa kita belum dikabulkan Allah, ya Bunda?" 

Aku mencoba menjawab berdasarkan pendeknya pengetahuanku. "Ya, bisa karena cara berdoa yang salah, atau memang belum waktunya, atau bisa juga Allah akan memberi dalam bentuk lain."

"Cara berdoa yang salah itu seperti apa Bunda?" tanya yang lain lagi.

"Hemmm, bisa karena berdoa dengan cara yang bukan islami, tidak lewat sholat misalnya. Atau sholat, tapi wudhu asal-asalan, atau sholat tapi main-main, atau sholat, tapi sekedar mau pamer, kalau udah sholat." Aku nggak yakin, apakah jawaban itu tepat. Tapi rasanya hati ini pun tertohok. Aku sendiri apakah sudah benar cara sholatku? Apakah  cara berdoaku selama ini sudah benar? 

Astargfirullah... Kalaulah anak-anak remaja itu tahu, tentang yang ada di kepala dan hatiku, saat aku mencoba tersenyum dan menjawab pertanyaan mereka. :( 

Tak lama, adzan berkumandang. Salah seorang anak remaja Lapas itu mengambil mike dan menjadi muazin. Suaranya merdu dan hatiku semakin teriris. Ini suara anak Lapas. Aku tidak tahu kasus apa yang menyebabkan muazin itu berada di Lapas. Aku hanya diam mendengarkan adzan zuhur tsb. 

Waktupun bergerak cepat. 1 Jam jatah tim GPR telah habis. Kami semua mengundurkan diri. InsyaAllah akan datang kembali.

Aku memikirkan lagi PR yang mungkin bisa kujadikan jawaban atas urusan sholat anak-anak ini. Sembari dalam kendaraaan pulang, aku menyetir memikirkan tugasku sebagai Ibu dari Billa dan Aam. Sholat harus menjadi napas mereka. Itu bisik hatiku.

Saat aku bertemu Aam di sekolahnya, tak pelak kupeluk erat dirinya. Ubun2nya kubelai dan dengan kencang kudoakan dia agar bisa sholat dan rajin sholat. Amin.

Kembali lagi, mentalku tak stabil setelah keluar dari Lapas tersebut. Masih terbayang wajah dan mata mereka. Lingkungan dan harapan yang mereka hadapi. 

Tanpa sengaja, pikiran kembali pada masa aku remaja. Masa memilih berteman dengan banyak orang, tapi tak semua menjadi temanku. Masa dimana, aku memilih tak masalah sedikit teman, ketimbang banyak teman tapi tak ada yang mengingatkanku pada Allah. Kupikir, sebagai orang tua, salah satu cara yang mungkin bisa membentengi lingkungan buruk pada anak-anak kita adalah, membuatnya memilih teman yang mau mengingatkan mereka pada Allah. Pada sholat, pada doa setelah sholat dan pada ketakutan diri akan murkanya Allah. 

Sekali lagi, tak pernah mudah, tapi bisa dan tak sulit 





*terima kasih Kak Wyk untuk fotonya, dan mbak Suci atas videonya. :)


No comments:

Post a Comment

Patah Hati Berbuah Domain Diri

Berdiri di samping banner buku " Dan Akupun Berjilbab" yang aku susun.
Isi buku ini berasal dari lomba "Jilbab Pertama"
yang aku gusung di Multiply tahun 2010, terbit 2011 akhir dan best seller di tahun 2012.


Aku sudah lama mengenal blog. Sekitar awal tahun 2004. Sebelumnya cukup rajin menuliskan kisah dan curhatan hati di blog milik (alm) Friendster.

Belajar ngeblog dengan lebih rutin justru di Blogspot, dan kemudian makin intens di Multipy, yang sebentar lagi akan "membunuh diri".

Aku benar-benar patah hati, ketika tahu Multiply tak akan lama bisa dinikmati. Nyaris pertengahan bulan Ramadan tahun 2012, aku menghentikan tulisanku di sana. Sibuk menyimpan file-file dan akhirnya migrasi ke Blogspot lamaku, dan menjajal areal baru di Wordpress.


Tapi aku kehilangan gairah ngeblog.
read more