Nov 10, 2016

Merayu Demi Belajar Menulis Buku




Aku menahan napas, saat kulihat namaku ada dalam daftar. Kalimat Alhamdulillah meluncur perlahan dari bibir. Mataku menelusuri nama pada daftar yang diupload di komunitas penulis cerita anak, bekerjasama dengan penerbit Tiga Serangkai.

"Bang, Dian lolos. Ada nama Dian di daftar calon penulis yang ikut serta Workshop First Novel Tiga Serangkai," kataku sambil menahan degup jantung yang begitu kuat. Sesaat kukira si Jantung, seperti ingin meloncat keluar. 

Suamiku hanya melirik sejenak. Tak ada komentar apa-apa. Khas dia banget. 

"Kegiatan Workshop di Bandung, Bang." lanjutku. Kutahan rasa gembiraku. Terus terang, aku agak sedikit kecewa dengan reaksinya. Lalu, kulihat ada sedikit perubahan dari raut mukanya. 

"Bandung? berapa lama? Nanti Si Billa gimana?" pertanyaannya memberondong. Detik itu, aku merasa seperti mati di tempat. 


Kulirik putri kami satu-satunya. Usianya belum 2 tahun. Sedang lucu-lucunya. Bawel minta ampun, dan tak pernah lepas dari pengawasanku. Sedetikpun rasanya aku belum pernah jauh dari dia. Otakku bekerja cepat dan memikirkan banyak hal. Apakah perlu kubawa ia ke Bandung? Kalau kubawa, siapa yang menjaganya? Gimana kalau kutinggal? Tapi siapa juga yang mau menjaganya? 

Akhirnya, kupilih diam. Sepertinya Suami bereaksi tak memberi ijin sama sekali ke Bandung. Sesaat kulepaskan mimpi untuk belajar menjadi penulis cerita anak. Pada detik itu hilang keinginanku meniti satu kehidupan baru, diluar cita-citaku selama ini. 

Kugendong Billa, dan kuajak bermain. Hatiku sedikit terhibur mendengar tawanya. Tawa anak yang lama kunantikan. Namun, ada bagian hati ini yang juga merintih sakit. Ada rasa hangat mengumpul di ujung mata. "Please, jangan menetes, wahai air mata," doaku. 

Keluhan sesaat tak bisa kutolak. Ya Allah, inikah ujian buatku? Aku bukanlah Mahasiswa pasca lagi. Dosen juga tak jelas, karena hanya tinggal SK  pengunduran diri dari PNS saja yang belum berani kuajukan. Begitu banyak pengorbanan sudah kulakukan demi keluarga. Aku bahkan mencoba melangkahkan kaki ke jalan hidup yang baru. Belajar menjadi penulis, berhenti bercita-cita menjadi Profesor seperti obsesiku bertahun lalu. 

Tapi, sepertinya keinginan menjadi penulis taklah semulus yang kukira. Sebelum ini aku mana berani bermimpi bisa lolos ke Workshop kepenulisan. Aku ini hanyalah anak kemaren sore, baru belajar nulis, dan tahu-tahu bisa lolos menjadi peserta Workshop. Bahkan, mana berani aku berharap punya kesempatan menguji kemampuan untuk mendapatkan kontrak menulis beberapa novel anak, dengan penerbit yang selama ini hanya kudengar saja namanya. 

Sampai malam hari dan keesokan harinya, mimpi menjadi bagian dari Workshop itu kukubur. Tapi tidak dalam-dalam. 

"Yank, Abang besok ke offshore ya. Baik-baik di rumah." kata Suami sambil menyiapkan tas untuk keberangkatanya besok. 

Aku mengangguk. Sudah biasa sih ditinggal berhari-hari. Tidak terlalu khawatir juga. Karena kebetulan sepupuku ada yang numpang tinggal beberapa waktu  di sini, sebelum ia mendapat tempat kost barunya. Juga ada adik kandungku yang baru datang, dalam rangka mencari pekerjaan. 

Malam itu, saat suami tidur. Aku membuka akun fesbuk, dan mengecek lagi nama-nama para peserta Workshop. Banyak sekali nama penulis cerita anak, yang selama ini hanya kukenal lewat buku-buku  mereka. Duh, Tuhan. Ini kesempatan emas. Bagaimana mungkin tidak kuambil? 

Sesaat hatiku membelah dua. Antara mau nekad pergi, atau patuh pada suami. 

Kuperhatikan satu demi satu komentar para peserta yang lolos. Ada yang dari Yogya, bahkan dari Surabaya. Dan mereka datang! Aku tertegun. Sesaat kepalaku pusing seperti habis ditampar seseorang. Perutku melilit. Mereka bersungguh-sungguh untuk hadir di Workshop tersebut, meskipun jauh. Sementara aku yang berlokasi hanya berapa jam dari kota Bandung kog malah ragu-ragu untuk hadir?

Kulirik Suami dan Billa yang tertidur lelap. God help Me.... rintihku. 

Setelah Subuh, seperti biasa, aku mengantar Suami sampai pintu. Suami dijemput ojek langganan menuju lokasi kendaraan umum dan lokasi kapalnya. 

Kubisikkan sedikit kalimat, "Bolehkah Dian ke Bandung?" Kupasang wajah semelas mungkin. Suami hanya melirik sebentar, menarik napas perlahan dan berkata "Pikirkan dulu baik-baik. Nanti Abang telpon setelah sampai di Terminal laut sana, ya."

Aku tidak kecewa. Itu bukan signal menolak. Itu tanda Suami memikirkan juga urusanku ini. Aku mengangguk dan mendoakan dalam hati, agar Suami tiba dengan selamat. Dan tak sabar kunanti teleponnya. Biasanya siang hari atau menjelang ashar, Suami akan menelpon dan memberitahu jika ia sudah sampai dengan selamat.

Telepon berbunyi. Namun Suamiku hanya bisa menelpon sebentar. Ia berjanji nanti malam akan menelpon lagi. 

Aku bersabar. Kulirik lagi daftar nama peserta. Lalu aku memikirkan banyak hal. Mungkinkah Billa kutinggal dan dijaga oleh adik kandungku, adik sepupu, pembantuku yang datang jam-jaman, serta tanteku yang tinggal tak jauh dari rumahku? Perutku kembali terasa melilit. Seolah-olah ada ratusan kupu-kupu berterbangan di sana. 

Aku sempat kaget, saat telepon berdering.  Kuterima dengan rasa deg-dengan. Aku hendak mengajukan sebuah proposal perjalanan yang kemungkinan besar ditolak oleh suami. 

Akhirnya, kugunakan siasat merayu. Suara kulembutkan. Dan setengah merengek meminta ijin untuk ke Bandung.

"Bahkan yang dari Surabayapun datang, Bang. Segitunya mereka berusaha belajar dan menghargai keberhasilan mereka lolos Workshop ini. Dian ini anak kemaren sore dalam urusan menulis. Apalagi Tangerang Selatan ini tak jauh dari Bandung. Cukup naik travel, beberapa jam kemudian sampai. Apa ini seperti tidak mensyukuri ketetapan Allah?" rengekku. Lebih tepat, aku nyaris menangis. 

"Bagaimana dengan Billa?" desak Suami. 

Kupaparkan rencana untuk menitipkan Billa pagi hari dengan sepupuku, siang hari dengan pembantu dan adikku, sore sampai malam, dibawa adikku ke rumah tante yang tak jauh dari rumahku. 

Tak ada jawaban dari seberang telepon. Hanya kudengar napas perlahan. Aku tak berani mengira-ngira, gerangan pemikiran yang ada di kepala suami. 

Lama tak ada jawaban. Aku mencoba menyapanya perlahan. Tenggorokanku tercekat. Aku tak sanggup lagi merayu. Sesungguhnya aku sudah mengemis dan meminta kebaikan hati suami untuk memberi ijin kepergianku. 

"Jika Dian yakin dengan apa yang akan dian lakukan, dan mau menerima resikonya, ya terserah." Tak lama kudengar keputusan darinya. Aku belum lega. Karena itu bukan sebuah kata IYA untuk kepergian ke Bandung.

"Abang ikhlaskan Dian ke Bandung?" kuajukan pertanyaan pamungkas. 
Tak lama ia menjawab, "Baiklah, selama Dian yakin Billa akan aman, dan kepergian Dian memang besar manfaatnya.

Lirih kuucapkan kata Alhamdulillah. Malam itu, niat merayu tak terlalu berhasil. Lebih tepatnya aku seperti mengemis dan menangis. Tapi tak masalah. Ini adalah salah satu upaya mengejar mimpi baruku. 

Ternyata,  kepergianku ke Bandung, memang tak sia-sia. Hingga detik ini aku terus menerus mensyukuri keputusanku untuk nekad merayu dan pergi ke sana. Selain berkenalan dengan banyak penulis, yang saat ini mereka telah  menjadi penulis hebat dan produktif, aku juga jadi belajar banyak mengenai "jeroan" dunia menulis cerita anak. Aku juga bersyukur dapat lolos menjadi 8 penulis yang mendapat kontrak menulis 2 novel anak dengan Tiga Serangkai. Rasanya aneh, melihat namaku masuk dalam jajaran para penulis yang sudah wara wiri di dunia menulis. Sebagian malah selama ini hanya kukenal lewat buku-buku mereka. 

Meski tidak seratus persen berhasil merayu, namun upaya memberanikan diri meninggalkan putriku dengan pola titip berpindah orang seperti itu, serta pertama kali ke Bandung sendirian, sungguh memberikan hikmah yang luar biasa.

Buatku, tak hanya pernah masuk jajaran pemenang lomba majalah Bobo di tahun 2009 yang menjadi momentum kehidupanku sebagai penulis cerita anak, namun,  berhasil lolos dan mendapat kesempatan menjadi penulis angkatan pertama First Novel di Tiga Serangkai, merupakan momentum berikutnya. Hal yang membuatku yakin, bahwa inilah kehidupanku sekarang. Sebagai Penulis Cerita Anak Indonesia. 



ini adalah dua novel anak karya perdanaku
My Odie... :)



"Postingan ini diikut sertakan dalam Giveaway Kisah Antara Aku dan Buku"







No comments:

Post a Comment

Patah Hati Berbuah Domain Diri

Berdiri di samping banner buku " Dan Akupun Berjilbab" yang aku susun.
Isi buku ini berasal dari lomba "Jilbab Pertama"
yang aku gusung di Multiply tahun 2010, terbit 2011 akhir dan best seller di tahun 2012.


Aku sudah lama mengenal blog. Sekitar awal tahun 2004. Sebelumnya cukup rajin menuliskan kisah dan curhatan hati di blog milik (alm) Friendster.

Belajar ngeblog dengan lebih rutin justru di Blogspot, dan kemudian makin intens di Multipy, yang sebentar lagi akan "membunuh diri".

Aku benar-benar patah hati, ketika tahu Multiply tak akan lama bisa dinikmati. Nyaris pertengahan bulan Ramadan tahun 2012, aku menghentikan tulisanku di sana. Sibuk menyimpan file-file dan akhirnya migrasi ke Blogspot lamaku, dan menjajal areal baru di Wordpress.


Tapi aku kehilangan gairah ngeblog.
read more