Jul 31, 2020

Niat Menikahmu Adalah Ujian Rumah Tanggamu

gambar ambil dari sini




Niat dan Ujian 

Kita sering sekali mendengar hadish yang menyatakan, bahwa amalan seseorang itu bergantung pada niatnya. Dan ia kan mendapatkan sesuatu itu sesuai niatnya.

Aku, lalu mencari hadish ini di internet, dan menemukan yang lengkapnya berbunyi : 

Dari Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits)

Baik...

Aku sedang tidak ingin berceramah. Selain memang bukan kapasitasku, juga karena ilmuku yang minim terkait hal ini. 

Namun, ada satu hal, yang ingiiin sekali kutuliskan sejak beberapa waktu lalu. Tentang Niat ini dan kukaitkan dengan Ujian hidup setelah berumah tangga.

Terus terang, awalnya aku tidak terlalu ngeh dengan kondisi yang kuhadapi sekarang, adalah terkait dengan niat awal ketika aku menikah. Setelah nyaris 21 tahun menikah (Semoga Allah melanggengkan pernikahanku dan menjadikannya SAMARA, amin), aku kemudian berpikir mundur ke awal pernikahan.

Dulu, saat aku pertama kali hendak menerima lamaran seorang laki-laki, sebetulnha niat apakah yang terbersit dalam hati? Niat seperti apa yang terlontarkan  dan niat macam apa yang sanggup tertulis dalam pikiranku?

Sungguh,... kala menerima lamaran Ayah Billa Aam, aku ndak pernah terpikirkan, bahwa kelak di kemudian hari, aku akan merasakan "nikmatnya" buah dari niat sebelum menikah tersebut.

Oke, sebelum aku cerita tentang pengalaman pribadi, yang bisa saja sangat subyektif, atau bahkan mungkin saja, hanya kualami sendiri, maka ijinkan kutuliskan sedikit tentang makna niat dan ujian.

Jadi, kita samakan dulu nih persepsi, tentang gimana sebetulnya niat tersebut, dan apa yang dikategorikan ujian dalam tulisan ini?

Aku menggunakan kamus online, tentu saja. Jadi dijelaskan bahwa  Niat (Arab: ู†ูŠุฉ Niyyat) adalah keinginan dalam hati untuk melakukan suatu tindakan yang ditujukan hanya kepada Allah. Sementara dalam KBBI Online, dinyatakan bahwa ni·at n 1 maksud atau tujuan suatu perbuatan: 2 kehendak (keinginan dl hati) akan melakukan sesuatu.

Oleh karena itu, aku mengonsepkan pengertian niat, sebagai keinginan hati untuk melakukan suatu tindakan atau tujuan atas sebuah perbuatan atau sebuah kehendak dalam melakukan sesuatu. Niat karena Allahnya, kutulis belakangan. Karena terus terang, saat menerima lamaran dulu itu, meski kuupayakan karena Allah, tapi tetap aja ada niat tambahan atau embel-embel, yang memberiku sejumlah ujian atas konsepku tersebut. 

Sementara, pengertian Ujian, bukanlah sejenis dengan ujian sekolah atau tertulis sekalipun. Ini lebih kepada upaya yang muncul dalam mengukur atau mengetahui mutu ketahanan diri atau rumah tangga dalam hal ini. 

Ini kusimpulkan dari pengertian Uji dan Ujian dari KBBI Online. Bahwa :  uji1 n percobaan untuk mengetahui mutu sesuatu (ketulenan, kecakapan ketahanan, dan sebagainya). Sementara  ujian adalah 1 hasil menguji; hasil memeriksa; 2 sesuatu yang dipakai untuk menguji mutu sesuatu (kepandaian, kemampuan, hasil belajar, dan sebagainya).

Baiiiik. Segitu aja seriusnya yaaa. :)

Sekedar mau kasih gambaran... saat kutulis postingan ini, aku memiliki konsep perihal niat dan ujian,  kayak gitu.

Niat sebelum nikah. Lalu ujian yang didapat setelah menikah.

Tapi, tunggu sebentar....

Apa betul, kalau niat kita sebelum nikah akan diuji setelah nikah?

Wallahulalam.

Kukira, patokan dari hadish yang kucuplik di atas itu, cukup menunjukkan kemungkinan bahwa apapun yang kita lakukan, amalan apapun itu, termasuk menikah, adalah tergantung niat. Rasulullah SAW menyatakan bahwa, seseorang, siapapun dia, akan mendapatkan sesuatu itu, sesuai niatnya.

Jika kita hubungkan dengan pernikahan, maka seseorang, akan mendapatkan bentuk pernikahannya, lengkap dengan ujiannya, sesuai dengan niat.

Kira-kira gitu pola otakku berpikir. Teman pembaca boleh setuju, boleh nggak kog. Kan dari awal sudah kubilang, bisa jadi tulisan ini sangat subyektif, meski aku tetap mencoba mendasarinya pada hal-hal yang logis. 

Nah...

Sekarang aku akan coba masuk ke inti tulisan. Hehehe dari tadi, rupanya baru prolog toooh? *smile ear to ear.

Aku ingin menceritakan apa yang terjadi pada diriku, tentang kejadian paska pernikahan, yang bisa jadi, awalnya tidak kurasakan sebagai ujian yang terkait dengan niat awal nikah. Namun, semakin ke sini, semakin terasa, bahwa demikianlah Allah menetapkan fase hidupku sebagai manusia.

Jika niatnya banyak embel-embel diluar karena Allah, maka ujiannya juga seputaran embel-embel tersebut. 

Aku, Niat dan Ujian Pernikahan 

Jadi, begini teman pembaca sekalian... 

Mau narok foto pernikahanku, tapi waktu itu belum berhijab sih.
jadi pinjem foto ini aja 
kurang lebih pakaian kami gini lah dulu.. hehehe
Anggap saja, foto diperagakan oleh model. hihi

Hampir 21 tahun yang lalu, kala aku dilamar seorang laki-laki yang baik dan sholeh, usiaku baru 25 tahun. Dan kupikir, aku terima sajalah lamarannya, niat awal bisa jadi karena Allah, namun juga karena aku ingin menyenangkan hati orang tuaku terutama Papa. Aku juga mencari suami yang mendukung karir dosen dan pendidikanku. Aku ingin sekolah setinggi-tingginya. Kalaupun punya anak, pengennya banyak juga sih. Biar rame. Karena aku hanya 3 bersaudara dan perempuan satu-satunya. 

Sementara suami, setelah kuingat-ingat, selain niat dia menikah karena Allah, niat utamanya juga ingin menyenangkan hati orang tuanya, terutama Mami mertua, juga mencari istri yang mendukung keinginannya,  membantu orang tuanya menyekolahkan ke 5 orang adik-adiknya hingga kelar kuliah.

Sampai di sini, tidak ada yang aneh dari niat kami berdua. Iyakan? 

Hingga kemudian pernikahan terjadi, dan satu demi satu ujian hadir dalam hidupku, dan bisa jadi dirasakan juga oleh suami. :) 

Hemmm...

Yakin, masih tertarik untuk lanjut membacanya? 

Oke deh kalau yakin... Soalnya bakalan panjang nih tulisan..:) Tapi aku tulis yang kisah besarnya saja ya...

Niat Menyenangkan Hati Orang Tua

Di antara hal yang kami anggap menyenangkan hati orang tua adalah, aku dapat berkarir baik di dunia mengajar ilmu hukum di kampus, dan suami bisa menyekolahkan adiknya 5 orang hingga kelar kuliah (meski salah satu ada yang tak sampai selesai, karena keinginannya sendiri). 

Karena niat inilah, kemudian ujian yang kami terima adalah, saking fokusnya kami pada kebahagiaan hati orang tua, (tak perlu kuceritakan gimana jungkir baliknya suami dan aku dalam menciptakan perasaan bahagia itu), maka kami mendapati kenyataan, bahwa kami harus berhemat ketat, tak bisa memenuhi keinginan pribadi berdua terkait harta dunia, seperti kendaraan atau rumah yang layak tinggal. Mengandalkan beasiswa, bagi sekolahku pun adalah wujud upaya menyenangkan orang tua.

Tapi, sisi positifnya, karena kami belum dikaruniai anak, maka kami berhasil menjalaninya tanpa beban berat. Kami fokus pada keluarga besar dan dilakukan dengan tawakal. Sehingga saat melihat hasilnya, saat saudara-saudara kelar kuliahnya hingga turut mengantarkan  di antara mereka menikah dengan lancar, rasanya luar biasa senang. Apalagi kalau melihat tawa bahagia Mami, Papi mertua atas pengabdian anak sulung mereka (suamiku), ataupun senyum bangga Papa dan Mama terhadap perjalanan karir kuliah dan mengajarku. 

Sampai sini, kayaknya semua berjalan baik. Perjuangan kami mencari materi untuk semua itu, berhasil kami tahlukkan dengan berhemat,sehemat mungkin. Tak jarang aku sering mendengar cemooh "istri perwira kapal kog gak punya hape?" atau "gaji dollar, kog rumahnya nyewa?" dan bahkan ada sodara yang nyelekit banget bilang "lain kali kalau ke sini mobilnya ganti ya. Gak malu apa, pinjem mobil tua milik sodara si Dian mulu?"

Hahaha... sekarang sih aku bisa ketawa geli. Tapi tidak saat peristiwa itu terjadi. Mengikhlaskan semuanya demi kebahagiaan orang tua, adalah ujian dari niat awal pernikahan kami. Bahkan ujian berikutnya naik level banget, setelah kami berhasil mengantarkan adik-adik kelar kuliah, dan punya sebuah rumah seken yang dibeli dari hasil tabungan mati-matian kami selama 7 tahun menikah.

Niat Sekolah Setinggi-tingginya. 

pinjem dari sini 

Untuk niat yang satu ini, ujiannya juga keren nih. Aku yang mengira tak akan dikaruniai anak karena kondisi kekuranganku, akhirnya fokus pada sekolah. Dari S1 lanjut S2, dan jeda 1.5 tahun lanjut s3. Walhasil, waktu itu, usiaku baru 32 tahun, aku lulus Kandidat Doktor. Proposal Disertasiku lulus dengan nilai A. IPKku hingga semester ke 5 itu adalah 4.00.

Kayaknya, mimpiku menjadi doktor pun akan segera menjadi kenyataan.

Hehehe

Tapi itukan pengennya aku ya? Inginnya seorang manusia.
Ketetapan akhirkan hanya milik Allah.

Setelah disindir bertahun-tahun tak punya anak, karena dianggap aku gila sekolah. Lalu ketika aku sekolah, dihina dengan fitnah menghabiskan uang suami untuk sekolah. Akhirnya ujiannya naik tingkat.

Aku diminta oleh dokter kandunganku untuk memilih.

"Ibu mau punya anak, atau terus menekuni buku-buku setebal bantal itu? Karena hormonal Ibu yang tak beres itu, dipengaruhi juga oleh rasa capek kerja otak mendalami teori-teori dari buku-buku kuliah Ibu."

Jreng...Jreng...

Sebuah ujian baru. Sebuah pilihan hidup lagi. Sebuah tantangan dalam bersikap. Mana yang kau pilih Dian? Berusaha untuk punya anak atau menyelesaikan S3 yang tinggal sedikit lagi?

Tak ada pilihan yang bisa memenuhi keduanya. Ada banyak ujian yang kuhadapi demi sekolah tinggi-tinggi ini sebelum nikah. Dan pada akhirnya, aku memilih meninggalkan diktat dan buku-buku tebal itu, demi menjalani segenap proses terapi, agar berhasil memiliki momongan.

Mudahkah?

Alhamdulillah, jika dibandingkan dengan teman-teman lain yang bertahun-tahun berupaya, aku boleh dibilang mujur. Setelah 7 kali gonta ganti dokter di 3 daerah. Kemudian 9 tahun menanti. Juga proses 10 bulan terapi, akhirnya Allah mengijinkan aku dan suami punya momongan. Aku dinyatakan hamil,

Dan selanjutnya? Ah, bisa dibaca di sini deh... itu juga kalau teman-teman belum tahu kisahnya. :)

Walhasil, niatku yang dulu ingin mendapat suami yang membolehkan aku sekolah setinggi-tingginya tercapai, tapi ujian berikutnya adalah harus memilih antara sekolah atau terapi untuk punya anak.

Niat kami untuk menyenangkan orang tua lebih dahulu tercapai, tapi harus mengalah dengan bekerja keras dan belum punya momongan dulu, karena awal2 pernikahan kami tidak konsen dan tidak fokus berobat ke dokter. Bahkan dulu tidak ada niatan untuk berdoa khusus punya momongan, di awal nikah dulu.

Niat kami untuk menyelesaikan sekolah adik-adik dulu tercapai, tentunya dengan tidak bisa mengharapkan banyak bisa menyimpan materi demi membeli rumah atau mobil di 10 tahun pertama pernikahan. Hehehe..

Jadilah, setiap yang aku dan suami niatkan di awal pernikahan, menjadi ujian bagi kami berdua.

Hingga, belasan tahun kemudian aku tersadar, bahwa harusnya niatnya hanya satu. Yakni Karena Allah. Bukan karena hal-hal lain. Karena kalau ada bonus niatan lain, tak pernah bisa diduga, jika ujian rumah tangganya muncul lewat niat kedua tersebut. Astagfirullah....

Sekarang, bagaimana dengan niat teman-teman? 

Ada beberapa kejadian di depan mata dan kudengar dari pelaku rumah tangga di sekitarku. Faktanya, Semua pihak ini mengalami ujian rumah tangga, yang jika kita perhatikan, ternyata terkorelasi dengan niat awal. Bisa jadi semua awalnya niat karena Allah. Namun, ada embel-embel yang menyertakan dari pernikahan tersebut.

Berikut beberapan Niat (alternatif atau kedua) dari sebuah pernikahan, yang kuketahui, dan berujung pada ujian kehidupan rumah tangga tersebut:

Niat  Menikah, Agar Punya Momongan

Berdasarkan niat ini, seseorang menikah. Maka ujian yg didapat justru terkait sulitnya punya anak. Ada teman yang sudah menikah dua kali, namun gagal bahkan rahimnya harus diangkat. Beruntung suami tetap setia mendampingi. 

Ada juga kenalan, yg akhirnya punya anak setelah belasan tahun menikah, namun baru beberapa hari lahir, anaknya diambil Allah kembali.

Ujian ini tentu berat sekali, karena kenalanku ini memang niat menikah ingin punya anak. Lisannya dinyatakan padaku, terutama saat kenalan ini memilih menikah lagi dengan orang lain. 

Niat Menikah, Agar Cepat Halal Hubungannya

Kalau ini, kisah seseorang yg tergesa-gesa menikah karena ingin segera halal. Walhasil ujiannya justru muncul dari kata halal tersebut. Suaminya menyekapnya di rumah, dengan alasan halal baginya melakukan h tersebut. Suaminya memukul dan berteriak marah, dengan alasan si Istri tidak patuh dan itu haram. Dan seterusnya. Mengerikan juga jika kupikir. Padahal niat menghalalkan hubungan adalah baik. Tapi bisa jadi, kenalanku itu lupa mendahulukan niat karena Allahnya. 

Niat Menikah, Agar Ada Yang Bantuin Ekonomi Keluarga

Kalau ini seru lagi. Seseorang menikah karena ingin punya suami yg membantu ekonomi keluarga besarnya.
Alhamdulillah menjadi kenyataan. Suami berkecukupan dan ikhlaa membantu keluarga besar istri. Walhasil, ujian rumah tangganya bolak-balik berasal dari keluarga besar yang hingga mereka tua sekalipun, minta dibantu terus secara finansial. Aneh memang. Tapi demikian adanya.

Niat Menikah, Agar Diterima Diri Ini Apa Adanya

Kalau ini, seru juga. Dengan niat demikian, maka suami istri yg aku kenal ini langgeng hingga akhir hayat. Namun konfliknya ya berputar di masalah yang penyelesaiannya adalah "ya sudah, aku nikahin kamu apa adanya." Hehehe. Bahkan suami gak berani mengeluh kala istri terlalu lugu untuk diajak berdiskusi banyak hal. 

Terima resiko atas menerima apa adanya tersebut. 

Niat Menikah, Agar Bisa Menikah Tahun Ini

Ada kenalanku berkeras hati, meniatkan diri harus menikah tahun inj. Terwujudkah? Yup! Terwujud.

Sayangnya, dia lupa menambahkan niat nikah tahun ini karena Allah.

Karena yang terjadi adalah, si Kenalan memiliki sindrom pernikahan ala cinderella. Mengira sebuah pernikahan itu indah seperti cinderella. Hehehe.

Akhirnya? ya sesuai niatnya, ingin menikah tahun ini dan di akhir tahun bercerai. Karena kaget dengan pernikahan yang menurutnha mengekang kebebasannya. Astagfirulah.

Ada banyak lagi sebetulnya kejadian  atau ujian yang menimpa banyak pasangan karena niat menikahnya.

Misalnya, 
Niat menikah, agar tetap bisa dengan pilihan hati. No matter what.
atau 
Niat menikah, karena tergoda fisiknya belaka.
hingga
Niat menikah, karena suka dengan sikap atau karakternya yang berbeda..

Bisa kebayang gak, gimana ujian yg akan mereka hadapi dengan niat-niat menikah tersebut?

Aku pribadi menuliskan semua ini, bukan menakut-nakuti teman-teman yang belum menikah. Bukan itu...

Aku hanya mengingatkan berdasarkan pengalaman yang ada, agar selalu rajin meluruskan niat. Aku melakukan hal tersebut. Kadang lupa, teringat lagi saat datang ujian rumah tangga menyolek hati terkait niat awal dulu. 

Buru-buru istigfar. Meluruskan kembali niat dan memperbaiki kondisi hati agar ikhlas.

Berhasilkah?

Kadang-kadang.

Sulit, ya?

Iyalah. Karena menikah itukan dijanjikan Allah sebagai upaya menggenapkan setengah agama. Mana mungkin dikasih gampang ujiannya. 

Iya, kan?

Jadi, sudah memperbaiki niat ingin menikah saat ini?

#diarybunda
#rumahtangga 








4 comments:

  1. nice, Uni. tulisan penuh hikmah. tulisan yang dari pemikiran yang pasti ngga sebentar memahami tujuan hidup. Dan benar, kalau engga pandai membaca kehendak Alloh, meluruskan niat, bisa fatal. terimakasih Sudan mengingatkan, Uni. love

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ntms juga ini. Makasih udah berkenan baca tulisan panjang ini yaaa

      Delete
  2. Thanks uni, tulisannya membuat saya berpikir. Betul banget setiap rumah tangga meniliki ujian masing². Semoga frida bisa melewatinya setiap tahapan. Salut sama uni๐Ÿ’๐Ÿ‘๐Ÿ‘

    ReplyDelete

Patah Hati Berbuah Domain Diri

Berdiri di samping banner buku " Dan Akupun Berjilbab" yang aku susun.
Isi buku ini berasal dari lomba "Jilbab Pertama"
yang aku gusung di Multiply tahun 2010, terbit 2011 akhir dan best seller di tahun 2012.


Aku sudah lama mengenal blog. Sekitar awal tahun 2004. Sebelumnya cukup rajin menuliskan kisah dan curhatan hati di blog milik (alm) Friendster.

Belajar ngeblog dengan lebih rutin justru di Blogspot, dan kemudian makin intens di Multipy, yang sebentar lagi akan "membunuh diri".

Aku benar-benar patah hati, ketika tahu Multiply tak akan lama bisa dinikmati. Nyaris pertengahan bulan Ramadan tahun 2012, aku menghentikan tulisanku di sana. Sibuk menyimpan file-file dan akhirnya migrasi ke Blogspot lamaku, dan menjajal areal baru di Wordpress.


Tapi aku kehilangan gairah ngeblog.
read more