Jun 27, 2016

Romantis Itu, Apa Adanya


Romantis bagi suamiku, adalah apa adanya.
Saat aku iseng ingin welfie, ia sigap menjaga anak-anakku yang super aktif
hehehe... 


"Bang... kenapa sih, Abang gak pernah romantis kayak suami-suami di tivi, gitu?" gugatku iseng di suatu malam. 

Anak-anak sedang asyik bermain di luar kamar, dan moment berdua yang jarang terjadi di usia pernikahan masuk tahun ke 17 itu, kugunakan untuk mempertanyakan soal romantisme. 

Entahlah, aku pribadi sebetulnya bukan perempuan yang suka hal-hal romantis.  Tapi terkadang, saat ulang tahunku atau pun anniversary, ingin juga dikasih kejutan. :)

Awal-awal pacaran jarak jauh, suamiku rajin nulis surat berlembar-lembar, karena saat itu ia masih berlayar. Komunikasi kami hanya telepon dan surat.  Lucunya, setelah 10 tahun menikah, aku baru tahu, kalau sebetulnya,  ia sering mengutip hal-hal yang romantis secara islami dari buku-buku agama miliknya. 

"Biar banyak yang ditulis aja!" alasannya saat kutanya. Jawaban yang bikin aku sebel sekaligus geli. Hingga kini, tumpukan surat-surat cintanya tersimpan rapi. 

Pernah, beberapa bulan lalu, saat merapikan perpustakaan kami, kubaca sebagian isi surat-surat tersebut. Sambil terkikik-kikik kubacakan bagian ia menyebutku sebagai "belahan jiwa", "kekasih hati", dan segala rayuan lainnya. 

Reaksinya ?

Cool... sambil menahan gerakan ujung bibir agar tidak bergerak naik. Kulihat juga, cuping hidungnya diperjuangkan untuk tidak bergerak-gerak. Karena demikian bahasa tubuhnya jika menahan geli. 


Semakin kubacakan surat-surat cinta itu, semakin ia pura-pura tak mendengar. Aku nyaris pipis di celana, karena tertawa terbahak-bahak, menyaksikan suamiku tak bisa berargumen apapun, perihal kelakuan romantisnya di surat-surat tersebut. 

Senjata pamungkas darinya hanyalah kalimat "Namanya juga, usaha nyenangin istri." Lalu tak ada penjelasan lebih lanjut. Suamiku memilih untuk serius membaca buku yang dipegangnya, atau paling tidak terlihat serius, guna mengalihkan rasa jengahnya. 

Saat awal-awal pernikahan, ia masih sempat mencoba bersikap romantis. Ia sering mengucapkan kata I love you melalui telepon dan surat, Ia juga pernah menghadiahiku kado sebuah CD lagu kesayanganku. 

Tapi semakin tahun, semakin jarang itu terjadi. Sekarang seringan aku yang bilang I love you di chat atau telepon. Alhamdulillah sih, masih dibalas singkat, "i love you too,"

Ujung-ujungnya, jika ia ingat ulang tahunku, seperti tahun ini misalnya, menjadi hadiah istimewa buatku. Apalagi tahun lalu dan sebelumnya lagi, ia lupa dengan tanggal  itu. :D

Parahnya, ia lupa tanggal wedding anniversary kami tahun ini. Padahal sweet seventeen loooo. Hahaha..

Beruntungnya, aku tak lagi mempermasalahkan hal tersebut. 

Namun, entah kenapa, malam itu, iseng kutanyakan soal romantisme itu. 

Lama kutunggu jawabannya, dan ia hanya menjawab sedikit saja, "Buat Abang, romantis itu apa adanya saja. Memaklumi pasangan apa adanya." Dan tak ada penjelasan lebih jauh lagi. 

Aku terdiam. Tapi ada senyum di bibirku. 

Aku tahu. Salahku mempertanyakan hal seperti itu. Seharusnya aku bersyukur, jenis romantis apa adanya versi suami justru yang terbaik untuk sikapku yang cenderung pemarah. Ia sangat sabar. Bahkan saat aku divonis sulit punya anak, dan kubolehkan ia menikah lagi. Justru ia menasehatiku untuk tidak lagi menawarkan hal yang sulit baginya. 

"Mendidik satu istri aja udah susah, gimana kalau dua? Butuh nyali besar. Udahlah, jangan bahas itu lagi." 


Dan kalimat itu menjadi pemungkas bagiku. Betapa memang benar. Romantis ala Bang Asis itu nggak berlebihan, dan nggak juga pura-pura. Ya itu.. apa adanya dirinya belaka. 


***



“Tulisan ini diikutsertakan dalam mini giveaway pengalaman yang menyentuh dalam rumah tangga”

No comments:

Post a Comment

Patah Hati Berbuah Domain Diri

Berdiri di samping banner buku " Dan Akupun Berjilbab" yang aku susun.
Isi buku ini berasal dari lomba "Jilbab Pertama"
yang aku gusung di Multiply tahun 2010, terbit 2011 akhir dan best seller di tahun 2012.


Aku sudah lama mengenal blog. Sekitar awal tahun 2004. Sebelumnya cukup rajin menuliskan kisah dan curhatan hati di blog milik (alm) Friendster.

Belajar ngeblog dengan lebih rutin justru di Blogspot, dan kemudian makin intens di Multipy, yang sebentar lagi akan "membunuh diri".

Aku benar-benar patah hati, ketika tahu Multiply tak akan lama bisa dinikmati. Nyaris pertengahan bulan Ramadan tahun 2012, aku menghentikan tulisanku di sana. Sibuk menyimpan file-file dan akhirnya migrasi ke Blogspot lamaku, dan menjajal areal baru di Wordpress.


Tapi aku kehilangan gairah ngeblog.
read more