Jul 25, 2021

Punya Bayi, Tapi Tetap Bisa Menulis? Kog Bisa?



Sudah Susah Hamil dan Dilarang Juga. 

Sebenarnya, aku merasa gejala pre-menopause saat usiaku 45 tahun. Aku merasakan sekali banyak gejala yang mirip dengan menjelang menopause. Aku nggak heran, jika memang aku harus mengalami menopause lebih dini dari perempuan lain. Karena sebagai  perempuan suspect pco alias susah punya anak karena sel telur yang sulit matang, serta punya keturunan diabetes, kemungkinan untuk menopause cepat adalah hal yang mungkin terjadi. 

Aku sempat pergi ke dokter Yuslam di RSPI dan konsultasi. Beliau hanya menyarankan aku untuk lebih relaks menjalani semuanya. Gak ada obat khusus yang diberikan. Hanya diminta olahraga secukupnya dan ya diterima aja kondisi ini.

Baiklah.

Aku kemudian iseng nanya ke dokter yang memang menangani kasus infertilitas pada banyak pasiennya itu. "Dok, kalau aku hamil lagi, masih mungkin gak?"

Dokter Yuslam tertawa dan bilang, "Lho, sudah punya dua orang anak toh, Bu. Gak usah hamil lagi, usianya sudah rawan. Lagipula, bisa jadi Ibu masih suspect PCO, apa ibu mau terapi lagi? Ah gak usah aja, ya. Tidak aman." Demikian kira-kira yang dikatakan beliau saat itu. Lalu beliau memintaku  untuk diperiksa kondisi sel telurku. 

Benar saja, aku memang masih suspect PCO, karena dari layar komputer terlihat banyak sel telurku dan kecil-kecil. Aku hanya bisa tersenyum masam. Sebenarnya niat pengen punya momongan itu sangat kuat waktu usiaku sekitar 39-40, tak lama setelah Aam lahir. Pengen deh rasanya punya anak tiga orang. Ganjilkan disukai Allah. Hehehe

Aku sebenarnya punya tiga anak, satu orang sudah dipanggil Allah. Kembarannya Kak Billa. Jadi rasanya kalau nambah satu lagi, pasti menyenangkan. Singkat cerita, aku memang harus menghadapi kenyataan bahwa pre menopause sudah hadir. Jadi lupakan punya anak lagi. Mama juga keberatan aku hamil lagi. Usia rawan gitu. Saat hamil pertama saja, usiaku sudah 34 tahun, yang kedua udah 38 tahun. Keduanya mengalami kehamilan yang tidak serta merta menyenangkan atau lancar. 

Baikah, kuputuskan untuk menerima kenyataan ini. Alhamdulillah sudah ada Kak Billa dan Aam yang menjadi penyejuk hati dan pelipur lara. 

Berita Menyenangkan Yang Lengkap Dengan Konsekwensinya

Aku kemudian asyik menulis dan mengajar menulis. Aku bahkan berniat mendaftarkan diri ke UT untuk ambil kuliah S2 pendidikan bahasa. Aku juga sambil nyari info S3 di UI untuk sastra. Kuniatkan, karena anak-anak beranjak besar, maka aku akan sekolah lagi, menulis dengan serius dan menggali ilmu sebagai guru atau mentor semaksimal mungkin.

Rencana adalah milik manusia, tapi Allah yang punya kuasa menetapkannya. Saat itu aku baru saja berniat untuk ke UT, karena sudah mulai masuk jadwal penerimaan. Sayangnya, aku belum sempat ke sana, karena sering pusing. Tau-tau aku baru ngeh, haidku terlambat. Namun, bisa jadi ini gejala pre menapause, pikirku. 

Kekhawatiran tetap muncul, karena aku merasa tak nyaman dengan tubuhku. Akhirnya tanggal 17 Juli 2019, dini hari, aku mencoba test pack. Rasanya antara mau pingsan, terharu dan gak paham bagaimana bisa, karena ada dua garis di sana. Aku yang masih suspect pco, sedang pre menopause dan usia memasuki 45,5 tahun, ternyata hamil lagi.

Sungguh ini berita yang sangat menggemparkan dan menyenangkan, sekaligus memberikan konsekwensi yang besar. Salah satunya, adalah harus siap menghadapi resiko kehamilan bagi usia tua dan juga, satu lagi. Aku membatalkan semua harapanku untuk sekolah lagi. 

Singkat cerita, harapanku lenyap. Apalagi aku punya pengalaman juga, selama kelahiran Billa dan Aam, aku harus semedi dan menghilang dulu dari dunia kepenulisan beberapa waktu, karena beradaptasi dan fokus pada mendidik anak di dua tahun pertamanya. Ini artinya, kesukaanku menulis dan mengajar akan hilang. Aku sempat merasa sedih yang cukup dalam, namun tak lama. Aku tahu, Allah itu Maha Bijaksana. Dia memberikan semua ini, pasti karena aku dianggapnya mampu menjalani semuaini dan juga, dipastikan, aku harusnya belum sekolah dulu. Memupuskan harapan sekolah adalah pilihanku setelah aku positif hamil. Konsekwensi tak bisa leluasa menulis harus kujalanin. 

Tapi, ternyata, bersikap positif thinking selama kehamilan, memberikan kondisi yang berbeda. Aku merasakan kehamilan kali ini, lebih tenang, lebih sabar dan lebih termotivasi untuk menjadi lebih baik. 

Punya Bayi Ternyata Masih Bisa Menulis

Akhirnya kujalani kehamilanku dengan penuh kepasrahan. Ke dokter lebih sering, pengetesan laboratorium lebih banyak dari ibu hamil lainnya, istirahat karena lelah yang teramat sangat menggelung diri kuterima dengan ikhlas. Boleh dibilang, empat bulan pertama, aku jadi manusia rebahan kelas wahid. Apalagi aku pernah sok-sokan kuat, tau2 ngeflek dan kontraksi terjadi. Aku sempat nangis sejadi-jadinya, khawatir ada apa-apa dengan kandunganku yang baru berusia  16 minggu waktu itu. 

Akhirnya, kupilih bedrest selama tiga hari. Berdiri hanya karena harus buang air besar dan kecil saja. Sholatpun tidur. tidak mandi, hanya dilap badan sama suami. 

Alhamdulillah, akhirnya kondisi membaik. Setelah terlewati fase morning sickness yang tak seberapa berat, hanya saja aku nggak punya tenaga untuk bergerak bebas, karena keletihan teramat sangat serta sering menggigil karena perubahan hormonal yang tak keruan, akhirnya aku bisa juga nyetir dengan nyaman saat nganter anak sekolah.

Tapi, lucunya, nyaris setiap hari, aku menulis status di media sosialku tentang banyak hal. Aku baru bercerita jika aku sedang hamil, saat kandunganku telah berusia di atas 25 minggu. 

Aku pun kembali aktif mengajar menulis secara offline. Meskipun suami yang anter jemput, dan aku selesai sharing biasanya tepar dua hari, tapi aku sukaaa sekali melakukan semuanya itu. Menulis dan mengajar itu menjadi hal yang rutin kulakukan selama hamil. 

Puncaknya, setelah aku melahirkan, bahkan saat menjelang melahirkan dan beberapa jam setelah melahirkan, aku masih berhasil menulis diary di media sosialku, baik FB maupun IG.

Tak lama setelah melahirkan Baby Oki, aku mencoba beradaptasi dulu dengan rasa sakit bekas operasi caesar. Sembari juga memotivasi diri, untuk terus membaca buku, dan menulis ikut beberapa lomba menulis. Aku menggunakan ponsel untuk menulis, lalu kirim ke email untuk diunduh ke laptop dan diedit di word. 

Kusiasati semuanya. 
Aku memang punya asisten rumah tangga beberapa jam di rumah. Sehingga aku punya waktu banyak untuk bayiku dan juga menulis. 
Aku bahkan ikut beberapa kelas online, karena sejak lahirnya Oki, bertepatan dengan mulainya pandemik dan PJJ serta WFH dimulai. 
Aku juga rajin ngajar beberapa kelas online. 
Kunikmati sekali. 
Aku juga masak seadanya, kadang katering atau beli lauk jadi. 

Setiap waktu luang, meksipun hanya 30 menit sehari, kugunakan untuk menulis status, melanjutkan naskah, mengajar kelas menulis, sharing di komunitas dan lainnya. Pokoknya, buatku meski hanya 30 menit, tetap bisa berliterasi di rumah.

Cara lain adalah meminta bantuan dan support dari suami dan anak-anak yang lebih besar. Saat aku harus sharing, maka mereka yang menjaga Oki. Hanya dua atau tiga jam saja. 

Aku juga berkorban mengurangi waktu tidurku satu atau dua jam, untuk semangat menulis naskah. Aku bahkan sempat bisa ikut lomba novel anak meskipun tak menang, dan saat ini naskahnya sedang di penerbit mayor lainnya (semoga tahun depan bisa lahiran novel di penerbit itu... amin). 

Akhirnya dengan motivasi yang kuat untuk selalu bisa menulis, apapun yang terjadi, maka pengalaman semedi yang terjadi saat lahiran Billa dan Aam, tidak terjadi. Aku malah semakin senang menulis meskipun hanya 30 menit atau satu jam perhari. Aku juga jadi sering isi acara kepenulisan, ataupun jadi peserta dan panitia kegiatan.

Pada akhirnya, kupikir, punya bayi dan ingin tetap bisa menulis itu memang membutuhkan bantuan banyak pihak, baik suami, anak hingga asisten rumah tangga. Selain itu, motivasi untuk terus senang dan bergembira di dunia literasi itu penting, tidak saja ibu menyusui yang bahagia akan memberikan asi yang banyak, tapi juga melakukan hal yang menyenangkan batin, akan menjadi hal yang membuat kita kembali bangkit untuk memupuk harapan lagi. 

Aku tahu, tidak dalam waktu dekat, cita-citaku sekolah lagi akan terwujud. Aku juga paham, jika usiaku sudah tak muda lagi, apalagi rasanya punggung ini mau patah karena harus mengurus bayi sendiri tanpa bantuan baby sitter. Namun, ini semua akan sementara. Ada kalanya si Bayi ini akan besar dan bisa ditinggal bersekolah lagi oleh Ibunya, InsyaAllah. 

Jadi, beradaptasi itu tidak harus melupakan harapan. Beradaptasi bisa jadi berkorban sedikit untuk hal yang kita sukai. Aku percaya, meskipun ada bayi, atau anak banyak, jika memang suka menulis dan berniat sekolah, dua hal itu akan tetap terwujud. Bisa jadi memang bukan sekarang, tapi nanti, saat Allah menentukan waktu terbaik untuk kita. 

Jadi, tetap semangat ya bumil, busui dan ibu batita, dalam hal menata hati menempa mimpi. InsyaAllah akan terwujud pada waktunya. Amiiin 



#pulihhati
#challengemenulisvol2
#pelukuntukperempuan
#kutuliskulepas

6 comments:

  1. Aaah Unii, memotivasi sekali. Jadi pengen sekolah lagi, hihihi.

    ReplyDelete
  2. Setelah terkagum baca tulisan uni tentang aam, sekarang terkagum juga baca cerita tentang kehamilan. Akh uni, terimakasih selalu memotivasi..

    ReplyDelete
    Replies
    1. MasyaAllah mbak Dew.... makasih apresiasinya. Semangat selalu. Saya hanya punya niat yg besar atas mimpi2 tsb. InsyaAllah tidak dlm waktu dekat, tapi semoga Allah izinkan di masa depan. Amiiin

      Delete
  3. Uniii, catatan ini mengingatkan aku ketika penantian panjang memiliki bayi sekaligus memotivasi agar tak memadamkan impian setelah kita menjadi ibu. Terima kasih sudah sharing ya uni❤️

    ReplyDelete

Patah Hati Berbuah Domain Diri

Berdiri di samping banner buku " Dan Akupun Berjilbab" yang aku susun.
Isi buku ini berasal dari lomba "Jilbab Pertama"
yang aku gusung di Multiply tahun 2010, terbit 2011 akhir dan best seller di tahun 2012.


Aku sudah lama mengenal blog. Sekitar awal tahun 2004. Sebelumnya cukup rajin menuliskan kisah dan curhatan hati di blog milik (alm) Friendster.

Belajar ngeblog dengan lebih rutin justru di Blogspot, dan kemudian makin intens di Multipy, yang sebentar lagi akan "membunuh diri".

Aku benar-benar patah hati, ketika tahu Multiply tak akan lama bisa dinikmati. Nyaris pertengahan bulan Ramadan tahun 2012, aku menghentikan tulisanku di sana. Sibuk menyimpan file-file dan akhirnya migrasi ke Blogspot lamaku, dan menjajal areal baru di Wordpress.


Tapi aku kehilangan gairah ngeblog.
read more