Jun 25, 2021

Hikmah Mengenalkan Literasi Sejak Dini Pada Anak









Monkey see, monkey do
Itu adalah prinsip paling mendasar jika ingin mendidik anak-anak terhadap satu kebiasaan. Jadi, apapun yang kita lakukan sebagai orang tua di hadapan anak, maka kelak kegiatan itulah yang akan diingat oleh anak-anak. Karena itulah, jika ditanya trik pertama mengenalkan literasi pada anak adalah si Orang tuanya yang melakukan kegiatan terkait berliterasi di dekat anak-anak. Apapun bentuk dan caranya, maka hal demikian akan ditiru oleh anak-anak. 

Beberapa cara yang selama ini kulakukan untuk mengenalkan literasi pada anak-anak, di antaranya:

1. Sejak anak dalam kandungan, aku sudah membacakan nyaring untuk mereka. Gak ada keharusan bacaan apa yang kuberikan, selain mengaji Quran, tentunya. Saat kehamilan pertamaku, maka hampir setiap hari dan setiap menjelang tidur malam, kubacakan buku cerita ke bayi kembar dalam kandungan. Waktu itu aku suka sekali membacakan kumpulan cerita klasik negara-negara di Asia, juga beberapa pictoral book yang menarik. Aku menggunakan suara yang cukup nyaring, karena memang hanya ada aku dan bayi dalam kandungan saja di rumah. Suami sering tugas ke offshore kala itu. Seru sekaligus menghibur hati juga, karena hanya aku sendirian dengan janin-janin dalam kandungan.

2. Saat kehamilan kedua, aku malah asyik banget menulis. Tak sekedar membaca buku saja, tapi juga menulis. Nyaris sejak hamil, hingga menjelang melahirkan, aku ketak-ketik laptop dan juga membaca banyak buku referensi. Sesekali tentu aku membacakan nyaring kepada si baby dalam kandungan. 

3. Kala kehamilanku yang ketiga, aku tidak saja asyik membacakan buku dan menulis, namun juga banyak mengajar dan sharing kepenulisan. Entah kenapa, meskipun usiaku sudah rawan untuk hamil, dan sangat merasakan kelelahan yang teramat sangat saat hamil ketiga itu, tetapi setiap kali aku sharing dan mengajar online ataupun offline, aku semangat sekali dan tidak merasakan keletihan sedikitpun. Namun, setelah selesai kegiatan, aku butuh dua hingga tiga hari untuk mencharging energiku kembali. Biasanya aku tepar di atas tempat tidur dan bed rest. 

Setelah anak-anak lahir, maka istilah monkey see monkey do, berlaku. Apapun yang kita lakukan, itulah yang dilakukan oleh anak-anak.

Ada beberapa kegiatan yang kulakukan saat anak baru satu, sudah dua dan akhirnya tiga orang di rumah. Di antaranya, aku suka sekali membacakan buku untuk mereka. Selama mereka batita, pilihan bukunya adalah soft book kayak buku kain, juga board book dan buku dengan kertas yang tak mudah sobek. 

Setelah anak-anak mulai mengenal sekolah dan gadget, maka moment membacakan buku pindah di saat menjelang tidur. Meskipun hanya 10 hingga 30 menit, hingga hari ini, aku masih rajin membacakan buku untuk putriku yang sudah kelas 8, juga putraku yang duduk di kelas 4, termasuk bungsuku yang baru berusia 1.5 tahun. 

Selain memiliki perpustakaan, aku juga membuat pojok baca. Awalnya ada di perpustakaan keluarga, namun karena fokus di perpustakaan sejak pandemik menjadi pusat belajar jarak jauh atau sekolah daring, maka pojok baca untuk anakku yang kecil, kupindahkan ke kamar utama, karena putri bungsuku masih tidur bersama aku dan suami. 


Jika sudah melakukan banyak stimulasi literasi pada anak dari dalam kandungan hingga detik ini, adakah hikmah yang dirasakan terhadap mereka? InsyaAllah ada banget. 

Untuk putri sulungku, meskipun membaca buku bukan hobby utamanya, namun kebiasaannya membuat picbook sendiri dan animasi sangat didukung oleh pola pikir cara membuat cerita. Kebiasaan dibacakan buku, membuatnya sudah paham bagaimana memulai cerita, isi cerita hingga akhir cerita. Hal ini menarik buatku, karena aku nggak pernah mengajarinya secara khusus. Sepertinya, kebiasaan membacakan buku-buku berillustrasi saat kecil dulu, mempengaruhi cara berpikirnya saat menggambar sebagai satu hal yang disukainya sejak kecil. 

Sementara, untuk putraku, dimana selama kehamilannya aku sangat suka menulis, entah bagaimana efeknya, yang pasti, dia bisa membaca dan menulis sendiri tanpa harus sulit diajari. Jika kakaknya usia 6,5 tahun baru bisa lancar membaca, itupun ada masalah juga dengan preposisi visualnya, sebaliknya, putraku malah sudah bisa membaca dan menulis di usia 3,5 tahun. Sepertinya, efek membaca dan menulis yang kulakukan selama dia ada di kandungan, terasa sekali. 

Terakhir, untuk putri kecilku, saat ini sangat suka dibacakan buku. Satu buku bisa dibaca dua sampai tiga kali, dan dia biasanya meminta dibacakan sedikitnya tiga hingga tujuh buku sekali baca. Hehehe. Putriku pun sudah terbiasa melihat aku menulis dan mencoret-coret kertas untuk membuat draft naskah. Sehingga kebiasaan ini membuatnya mengerti bahwa itulah pekerjaan ibunya. Dia nyaris tak pernah mengganggu secara khusus jika dilihatnya aku mengetik. Sering kali, jika aku mengetik, maka dia akan mengambil buku dan membuka-buka sendiri buku tersebut sampai bosan, baru kemudian minta pangku sekedar ikut menyoret kertas yang ada di hadapan kami. 

Hal utama yang mungkin patut untuk diperhatikan bagi banyak orang tua muda di luar sana, bahwa membacakan buku haruslah menyenangkan. Tidak dipaksa dan tidak perlu sampai membuat si anak merasa membaca adalah hukuman. Aku pribadi, termasuk yang memberi keleluasaan bagi anak saat memilih buku. 

Putriku suka buku komik dan animasi, tak masalah buatku. Jadi, aku membelikan buku-buku yang lebih banyak gambarnya. Meskipun usianya sudah abegeh, tapi jika membaca buku berillustrasi untuknya lebih nyaman daripada novel, maka tak kupaksakan. Aku menempatkan satu lemari buku di kamarnya, belum terlalu diliriknya, karena sebagian besar adalah novel. Namun, tak jarang, jika dia sedang ingin membaca buku (kecenderungannya adalah memilih buku bahasa Inggris) maka dia akan membaca buku tersebut hingga selesai. Tak ada patokan berapa lama dia menamatkannya. Buatku, kala dia bersedia membaca tanpa dipaksa saja, sudah lebih baik. Karena godaan gadget saat ini sangat besar. Bisa jadi dia menggambar di tabnya, dan mencari referensi tidak saja di internet, namun juga dari buku-buku berillustrasi yang dibacanya.

Putraku penggemar buku-buku non fiksi, terutama terkait peta, negara dan sejarah. Jadi buku-buku berbahasa Inggris terkait tiga hal tersebut lumayan menjadi koleksinya. Namun, aku juga mengenalkan dunia bacaan lain, terutama hal-hal yang sering ditanyakannya seputar agama dan kehidupan. Maka aku lakukan kegiatan membacakan buku satu sampai tiga bab sebelum tidur. Kadang didengarkannya dan didiskusikan. Tak jarang menjadi dongeng pengantar tidur, alias setelah mendengar kubacakan buku, dia tertidur pulas. Hehehe. Tak masalah, karena di bawah sadarnya, aku percaya, dia menyukai buku yang aku bacakan untuknya. 

Untuk putri bungsuku,  karena masih batita, aku mengenalkan lebih banyak buku-buku yang tak mudah sobek, tulisan sedikit dan gambar yang berwarna-warni. Aku lakukan kapan saja jika si anak mau. Saat bangun tidur, siang hari, sore hari, malam hari bahkan menjelang tidur sekalipun. Tak ada waktu khusus. Selama dia menyukai buku, selama itu juga aku akan mendampinginya.

Kuncinya memang satu. Monkey see monkey do.

Orang tuanya harus suka membaca, menulis dan melakukan kegiatan literasi tak jauh dari si anak. Ujian dan tantangan kita menghadapi generasi digital adalah bagaimana membuat mereka menyintai literasi tanpa paksaan. Ini berat, tapi bisa dilakukan. Meskipun kita membuka gadget di depan mereka, pastikan mereka tahu kita sedang bekerja, sekolah dan menulis serta membaca. Buku tak selamanya harus berupa kertas belaka. Ada buku eletronik yang bisa dikenalkan. Jangan berkecil hati dengan perbedaan kondisi dunia buku dulu (era orang tua seperti kita) dengan anak-anak sekarang ini. Selama pemahaman kita tentang literasi sebagai sarana mencerdaskan anak-anak melalui bacaan dan tulisan, maka konsep yang sama, meski tool atau alat yang berbeda, akan tetap membuat kita sampai pada tujuan, membuat anak-anak suka literasi dan mencerdaskan mereka sejak dini. 

*Pamulang, 25 Juni 2021



 

4 comments:

  1. tulisan uni dian ini sejalan banget sama buku dongeng panjang literasi indonesia karya yona primadesi yang barusan aku review. cool uni! Masyaa Allah tabarakallah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya tadi baru baca juga tulisan Marina. Jd kepo juga sama buku tsb

      Delete
  2. MasyaAllah Uni.. setuju kecerdasan literasi bisa dimulai bahkan sejak anak2 masih dalam kandungan. Terima masih sharingnha ;)

    ReplyDelete

Patah Hati Berbuah Domain Diri

Berdiri di samping banner buku " Dan Akupun Berjilbab" yang aku susun.
Isi buku ini berasal dari lomba "Jilbab Pertama"
yang aku gusung di Multiply tahun 2010, terbit 2011 akhir dan best seller di tahun 2012.


Aku sudah lama mengenal blog. Sekitar awal tahun 2004. Sebelumnya cukup rajin menuliskan kisah dan curhatan hati di blog milik (alm) Friendster.

Belajar ngeblog dengan lebih rutin justru di Blogspot, dan kemudian makin intens di Multipy, yang sebentar lagi akan "membunuh diri".

Aku benar-benar patah hati, ketika tahu Multiply tak akan lama bisa dinikmati. Nyaris pertengahan bulan Ramadan tahun 2012, aku menghentikan tulisanku di sana. Sibuk menyimpan file-file dan akhirnya migrasi ke Blogspot lamaku, dan menjajal areal baru di Wordpress.


Tapi aku kehilangan gairah ngeblog.
read more