Sep 15, 2020

Ngakalin Anak Yang Lagi GTM



Menjadi orang tua, salah satu tantangan yang cukup berat adalah saat si anak kecil dengan kelakuan bossy ini melakukan GMT alias Gerakan Tutup Mulut.

Anakku empat orang. Salah satunya sudah dipanggil Allah di usia kandungan 29 minggu. Alhamdulillah, tiga lainnya dititipkan Allah dengan segenap perbedaan yang dimiliki oleh mereka.  Putri sulung dan putra tengahku waktu kecil atau balita demen banget melakukan GTM. 

Ada fase-fase dimana mereka senang banget makan. Tapi ada fase juga dimana mereka makan hanya sedikit atau bahkan mempermainkan makanan mereka.

Putriku yang sulung, sudah melewati fase ini. Namun saat ia dalam kondisi GTM di usianya menjelang 5 tahun.... ya Allah, rasanya aku benar-benar dalam ujian berat.

Aku pernah sampai menelpon ibuku di Palembang, dan menangis memikirkan kesehatan putriku, karena ia tak mau makan. Benar-benar tak mau. Minum susu tak mau dan aku sampai titik puncak kesabaran, hingga meledak menangis di telepon.

Ibuku lalu bilang, "Kamu dulu juga gitu. Sabar aja. Dikasih aja dulu makanan kesukaannya. Nanti lewat juga kog fase tak nyaman ini."

Rasa khawatir akan kesehatannya tersebut, membawaku konsultasi dengan dokter anak. 

Beliau akhirnya bilang, "kita pantau saja, apakah meski dalam kondisi GTM anaknya tetap happy atau nggak. Jika anaknya ceria, minum air putihnya cukup, juga masih senang ngemil atau ada asupan makanan yang masuk, meski sedikit, ya jangan terlalu khawatir. Yang penting anaknya ceria, tetap beraktivitas fisik dengan senang."

Kuperhatikan, apakah Billa, putriku demikian adanya? Alhamdulillah memang iya. Dia memang makannya sedikit, tapi aku tetap rajin meminta dan memberinya minum sesuai harusnya. Meskipun tidak mudah juga. Billa juga aktif, ceria dan terlihat bahagia dalam setiap aktivitasnya. 

Kekhawatiranku soal GTM nya ini berakhir saat dia mulai kelas 3 SD, sudah kenal jajajan dan menyukai makanan berkuah dan tempe. Alhamdulillah, dia gak pernah lagi GTM. Meskipun, kalau dipikir-pikir, lama juga dia males makan.

Hikmahnya sih, dia nggak sulit diajarin puasa sama sekali. Bener-bener nggak menyulitkan. Dia suka puasa. Karena nggak repot makan minum. Hehehe. Usia 5 tahun, Billa sudah puasa full seharian, tanpa drama sama sekali. 

Ya, mungkin itu hikmahnya ya?

Saat ini, putriku sudah meranjak remaja. Khas remaja adalah bawaannya pengen jajan dan ngemil. Billa pun sudah senang makan, bisa sampe nambah nasi jika lauknya adalah makanan favorit dan tetap makan sepiring nasi, meskipun lauknya bukan favoritnya. 

Bagaimana dengan si Putra Tengahku? Aam ternyata ada juga masanya GTM. Tapi nggak selama dia batita. Di usia itu, semuanya yang ditawarkan dia makan. Dia belum bisa bicara sampai usia 3 tahun. Bisa jadi, karena itu juga, dia nggak pernah protes dengan makanan apapun yang kuberikan.

Aku sempat bahagia, saat Aam mau makan dengan sayur, buah dan protein seperti tahu dan ayam.
Minum susunya juga jago.

Sayangnya, masa menyenangkan itu berubah, saat Aam mulai bisa berbicara dan berkomunikasi. Dia mulai bisa menolak..

"No! I dont like it!" Menjadi kalimat favoritnya. Akhirnya diapun melakukan GTM pertama kali di atas usia 3.5 tahun.

Fiuuuh, untungnya dia nggak berlama-lama melakukan GTM terhadap susu. Ayam goreng masih mampu membuatnya tergoda untuk makan, meskipun sedikit. 
Sejak usianya 5 tahun, Aam nggak ngelakukan GTM lagi,  meskipun lauknya dia milih, telur, tempe, ayam dan mie menjadi pilihannya. Tak ada sayur dan buah lagi. Hiks.

Aku sempat mengeluhkan kondisi tersebut ke dokter anak langgangan. Jawaban beliau, "Selama anaknya happy, ya nggak masalah. Soal asupan vitamin, bisa diberi suplement vitamin untuk anak-anak. Toh selama ini pupnya lancar juga kan? Nggak pernah kholik atau apa?"

Aku mengangguk. Ya, memang Aam tetap ceria meski cenderung sangat aktif. Dan belum pernah ngalamin masalah dengan pencernaan secara khusus. 

Akhirnya, kupilih untuk memantau saja. Apakah anak-anak cukup asupan cairannya dan ceria/bahagia, aktif dengan kemampuan tumbuh kembang yang jelas? 

Meskipun, ternyata Aam adalah anak gifted atau tumbuh kembang yang disinkronisasi antara kecerdasan kognitif dengan verbalnya, namun secara fisik, Aam baik dan sehat.

Sekarang, bagaimana dengan si Putri Bungsuku? Usianya baru menjelang 7 bulan. Sejauh ini, belum terlihat gejala GTM sama sekali dengan MPASInya. Meski dia senang sekali menyemburkan makanan. Hehehe.

Ya, mudah-mudahan, jikapun ada fase GTMnya kelak, aku sudah punya cukup modal pengalaman berdasarkan kelakuan kakak dan abangnya. Prinsip dasar dari dokter akan kupegang. Yakni, cukup cairan tubuh, anaknya tetap ceria dan aktif, serta terlihat cerdas sesuai tumbuh kembangnya. 

Harapanku, jika berpegang pada prinsip dasar demikian, maka sebagai ibu, kita tidak panik, tidak terlalu khawatir yang berlebihan, kala anak memasuki fase GTM. 

Kecuali, jika akibat GTM tersebut anak terlihat lesu, males-malesan dan bawaannya ingin tidur aja serta mojok nggak jelas di sudut ruangan rumah. Apalagi, diikuti gejala klinis lainnya seperti demam atau muntah, maka langsung bawa ke dokter. GTM yang demikian bisa jadi terkait asupan cairan yang minim atau ada masalah dengan pencernaanya. 

Sebagai orang tua, memang menaikkan alarm kewaspadaan itu selalu wajib hukumnya. Termasuk terhadap GTM oleh anak. Boleh santai, tapi waspada. Yang penting, menjadi orang tua dari anak yg melakukan GTM adalah tidak boleh panik. Pengalamanku mengajarkan demikian.

#diarybunda 






Aug 2, 2020

“Miliki HaKI, Jangan mau diHAK-I”

(Gambar gak ada hubungan ama isi tulisan. Namun gaya peserta yang serius di workshop kepenulisan sehari ini, patut dijadikan contoh kewaspadaan atas hak kekayaan  intelektual yg harus dijaga, setelah naskah buku jadi dan terbit). 


Declare: Tulisan ini ditulis September 2012. 8 tahun lalu. Aku coba upload lagi di sini. Mudah-mudahan masih layak baca dan masih significant sama kondisi saat ini. 
****************

Banyak hal atau peristiwa yang kita peringati di bulan April. Selain kebiasaan diadakannya April Mop oleh sebagian orang di negara barat sana, juga ada 21 April sebagai hari Kartini di Indonesia. Namun mungkin tidak banyak pihak yang mengetahui bahwa tanggal 26 April, setiap tahunnya diperingati sebagai Hari HKI seDunia.

Pertanyaan besarnya bukan mengapa tidak banyak pihak yang tahu bahwa tanggal 26 April adalah hari HKI sedunia, tapi justru di saat ini sudah jamak diketahui bahwa tidak banyak orang yang tahu, ataupun mengerti apa itu HKI. Jangankan masyarakat umum, di kalangan kaum pendidik di universitas bahkan di kalangan para penegak hukum pun, banyak yang tidak tahu HKI, kurang tahu atau yang paling berbahaya adalah kalaupun tahu, tapi tidak ambil perduli.

HKI sendiri merupakan singkatan dari Hak Kekayaan Intelektual. Beberapa tahun yang lalu, sebelum ditegaskan istilah tersebut dalam undang-undang, banyak kalangan yang menyebutnya dengan Hak Milik Intelektual. HKI sendiri agak sulit untuk didefinisikan, namun secara garis besar, HKI merupakan suatu hak kekayaan yang timbul dari suatu ide atau hasil intelektual seseorang yang kemudian berujud sesuatu di bidang ilmu pengetahuan, tehnologi, seni, sastra, merek dan lain sebagainya yang dapat dinikmati oleh banyak pihak .    

Artinya jika kita berhasil menciptakan suatu karya di bidang seni, seperti lagu, maka akan dilindungi oleh Hak Cipta, sebagai bagian dari HKI. Kemudian, jika kita menciptakan suatu karya tehnologi yang belum pernah dibuat oleh pihak lain, maka dapat dilindungi oleh Hak Paten, yang juga bagian dari HKI. Begitu juga merek dagang, desain suatu barang, resep suatu makanan yang menjadi rahasia dagang, bahkan varietas suatu tanaman pun telah dilindungi melalui HKI.

Perlindungan HKI di Indonesia mengalami cukup banyak pasang surut, dan beberapa kali terjadi pergantian undang-undang. Namun nama Indonesia cukup menarik perhatian dunia HKI secara internasional pertama kali di antaranya karena peristiwa pada bulan Desember 1985, dimana telah beredar kurang lebih 1,5 juta kaset bajakan di Indonesia yang berasal dari rekaman konser Live Aid untuk penggalangan dana bagi Afrika. Kondisi ini dikeluhkan oleh Bob Geldof selaku penggusung Live Aid Concert tersebut karena mereka mengalami kerugian 3 juta dollar AS dan akhirnya Bob Geldof berikut para artis pendukungnya mencela Indonesia atas bajakan tersebut. 

Setelah kejadian tersebut, selain Indonesia telah mempermalu diri sendiri (atau dapat pula dikategorikan telah dideskriditkan? tergantung sudut pandang kita dalam melihatnya) sekaligus membuka mata negara Amerika Serikat bahwa terdapat ruang yang besar untuk menggali lebih banyak lagi pemasukan devisa melalui HKI tersebut. Sehingga pada akhirnya Amerika Serikat membuat aturan yang terkait HKI dengan melakukan pengawasan perdagangan dengan negara lain, serta memberi suatu tindakan khusus terhadap negara mitra dagangnya, apabila melakukan pelanggaran HKI.

Indonesia sejak tahun 1995, hingga sekarang telah mondar-mandir berada dalam posisi teratas sebagai negara yang perlu diawasi dan diberi tindakan khusus dalam kaitannya dengan dunia perdagangan dan HKI. Data terakhir, menunjukkan masalah HKI Indonesia berada  dalam  Watch List milik Amerika Serikat . Hal ini mungkin perlu dikhawatirkan karena akan berdampak jelek bagi perekonomian negara Indonesia, serta mempersempit ruang gerak Indonesia dalam melakukan perdagangan dengan negara lain. (*aku belum cek.lagi ya. Apakah berbelas tahun kemudian, di tahun 2020 ini konsen terkait Watch List ini masih menempatkan Indonesia di posisi negara yg banyak melakukan pelanggaran HKI. Mungkin akan kuupdate info seputaran ini. Mengingat bentuk pelanggaranpun semakin bervariasi dan juga semakin canggih).

Namun, tidak hanya masalah Watch List milik Amerika Serikat yang perlu dikhawatirkan. Sikap Amerika Serikat dan beberapa negara maju yang sering kali menyalahgunakan HKI untuk mendapatkan keuntungan bagi negara mereka pun patut kita khawatirkan. Tidak satu atau dua kali, negara-negara maju tersebut mengklaim beberapa pengetahuan tradisional maupun kekayaan harta biologi atau alam dari suatu negara berkembang. Mereka umumnya menggunakan dalih harus menggunakan hak paten apabila hendak mendapatkan perlindungan. Sedangkan pengetahuan tradisional yang telah didapat dari secara turun temurun tentunya mengalami kesulitan untuk memenuhi persyaratan hak paten tersebut.

Negara-negara maju seperti Amerika Serikat termasuk yang enggan untuk ikut serta dalam Convention on Biological Diversity (CBD) karena dianggap menghambat perkembangan dan perlindungan terhadap hak paten. Padahal inti utama dari CBD adalah untuk memberikan pembagian manfaat yang merata atas penggunaan keanekaragaman hayati dan pengetahuan tradisional milik negara berkembang seperti IndonesiaIndonesia sendiri meskipun telah memiliki undang-undang yang memberi perlindungan terhadap pengetahuan tradisional (termasuk berbentuk folklore) yakni Pasal 10 UU no. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, namun masih sulit untuk dilaksanakan, mengingat tidak adanya peraturan pelaksananya. (Suatu hal yang klasik untuk dijadikan alasan akan mandulnya sebuah UU di negara Indonesia). (*info ini juga belum kuupdate. InsyaAllah segera kucek ulang).

Kita tentunya tidak berharap bahwa kasus “pohon neem” di India ataupun kasus “desain tradisional” di masyarakat Aborigin akan terjadi pada negara kita, meskipun bukan tidak mungkin, jika kita teliti lebih jauh, Indonesia mungkin saja telah “dibajak” pengetahuan tradisionalnya oleh pihak-pihak asing. Tidak hanya karena keteledoran kita, maka batik, tempe, bahkan sambal terasi ala Indonesia telah diklaim HKI nya oleh negara lain. Namun juga karena ke-tidaktahu-anlah yang paling menonjol sehingga seringkali setiap karya intelektual maupun kekayaan alam Indonesia tersebut pada akhirnya “dihak-i” oleh negara maju lainnya.

Oleh karenanya, diharapkan jangan sampai kekayaan alam Indonesia (seperti  pengetahuan tradisional) yang begitu besar memberi manfaat bagi masyarakat, terutama yang sering digunakan oleh masyarakat tradisional pada akhirnya diklaim melalui hak paten atau hak lain dalam HKI oleh negara maju. Apabila kita tidak waspada, bukan tidak mungkin, khasiat buah merah (yang saat tulisan ini dibuat 8 tahun lalu tengah beredar informasi dan khasiatnya secara meluas) yang telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat Papua, akan diklaim haknya oleh negara asing.

Boleh jadi,  Indonesia terlalu terburu-buru (entah karena keinginan yang besar untuk menjadi bagian dari perkembangan globalisasi, atau karena desakan negara-negara maju seperti Amerika Serikat) menandatangani dan meratifikasi WTO melalui UU No. 7 Tahun 1994 mengenai pengesahan Agreement Establising The World Trade Organization, sehingga tidak memikirkan akibatnya bagi masyarakat Indonesia yang sebagian besar dijamin belum siap menghadapi akibat-akibat hukumnya.

Namun bukan penyesalan yang perlu dilakukan, akan tetapi sikap waspada dari masyarakat Indonesia, terutama yang telah memiliki pengetahuan tradisional serta kekayaan alam yang memungkinkan perlunya perlindungan HKI, kemudian upaya dari pemerintah untuk bisa menegaskan perlindungan HKI bagi pengetahuan tradisional secara mutlak, serta membuat peraturan pelaksananya, serta komunitas media massa harus lebih giat lagi memperkenalkan HKI bagi masyarakat luas.

Sehingga HKI mampu menjadi alat  bagi kesadaran masyarakat Indonesia untuk melindungi pengetahuan dan hasil intelektual mereka. Bukan HKI sebagai alat bagi negara-negara maju untuk mengHaK-I kekayaan intelektual yang seharusnya menjadi Hak Bangsa dan Negara Indonesia.

Jadi, waspadalah. Serangan pelanggaran HKI itu tidak saja dilakukan oleh manusia di Indonesia sendiri. Namun juga sudah ditargetkan oleh banyak negara lain yang gemar mengklaim dan meng-HAK-i kekayaan intelektual orang lain. 


Astagfirullah 

Aug 1, 2020

Seberapa Penting Ikut Kelas Menulis?

Apa sih kelas menulis itu?

Kalau kuingat-ingat, mungkin sudah puluhan kelas menulis yang kuikuti. Baik daring (dalam jaringan internet) maupung luring (luar jaringan interner).

Kelas menulis sendiri merupakan kelas yg di dalamnya ada mentor menulis, mentee atau murid dan admin atau pihak penyelenggara suatu kegiatan belajar menulis.

Bisa beragam genre dan berbagai cara, tema dan gaya pengajaran. Ada yg hanya satu tema tanpa output jd buku. Ada juga yg memakai kurikulum hingga lahir jadi sebuah tulisan bahkan buku.

Pertanyaannya, kenapa bisa sampai puluhan dan mengapa perlu ikut kelas menulis?

Aku jawab dulu pertanyaan mengapa perlu ikut kelas menulis, ya.

Alasanku antara lain:

1. Karena menulis naskah baik fiksi dan non fiksi itu punya kriteria dan syarat tertentu, maka aku harus mengenalnya lebih dekat. Cara yang paling efektif dan efisien buatku sebagai pendatang baru di dunia menulis pada tahun 2009 adalah, ikut kelas menulis. Dari sini aku bisa mengenal banyak kriteria kepenulisan sehingga paham, mana yang terlebih dahulu kucoba pelajari saat memulai menulis.

2. Membangkitkan semangat dan nuansa menulis itu penting. Semua itu bisa didapat saat kita ikut kelas menulis. Baik online maupun offline. Karena dengan demikian kita dapat mengenal teman-teman sesama penulis serta membangun networking yang kelak bermanfaat bagi kita penulis yang baru merintis. 

3. Memberikan banyak ilmu pengetahuan dari pihak-pihak yang mempraktekkannya. Jadi para praktisi itu tidak saja memberikan teori-teori kepenulisan, namun juga pengalaman mereka sebagai penulis sekaligus trik dan tips yg mereka terapkan saat menulis. Ini penting, karena semakin sering dan lama pengalaman kita menulis, maka semakin banyak kiat-kiat yg memudahkan penulis memulai tulisan hingga menerbitkannya. Hal ini akan didapatkan saat kita ikut kelas menulis.

Pertanyaan selanjutnya, kenapa sampai puluhan kelas menulis?

Sebetulnya, awalnya, aku hanya ikut kelas online atau daring. Namun lama kelamaan, masuk komunitas dan akhirnya malah dikenalkan dengan kelas menulis offline atau luring. Dan level keseruannya berbeda, meskipun targetnya tetap sama, yakni menulis tema atau genre tertentu. 

Aku ingat, pertama kali ikut kelas menulis itu, kelasnya mbak Ifa Avianty. Waktu itu modelnya belajar lewat email. Kisaran tahun 2007 kalau tidak salah. Aku mengenal beliau lewat platform Multiply.

Kelas ke dua dan  masih online adalah kelas Kang Iwok Abqary melalui platform Blogfam. Kami belajar melalui jalur group FB ya kalau tidak salah. Ini kisaran tahun 2009. Aku sudah punya momongan waktu itu. Dari kelas online ini, naskahku ada yg terbit di majalah Bobo berjudul Sayap Peri Elly dan ada yg terbit di kumcer terbitan Penerbit Talikata berjudul Rahasia Rumah Reyot.

Sejak itu, aku ikut banyak sekali kelas online. Mulai dari kelasnya Kang Ali Muakhir di Winner Class, kelasnya Teh Ary Nilandari, kelasnya mas Bambang Irwanto di Rumah Kurcaci Pos dan puluhan kelas lainnya, berbayar maupun gratisan. Sampai ikut kelasnya Tasaro di wag dan kelas menulis dari hati ala A Fuadi. Ini yang terbaru di tahun 2020. 

Nyaris kalau dihitung-hitung, lebih 40 kelas online yang kuikuti sejak 11 tahun terakhir. Kebanyakan sih, kelas menulis fiksi cerita genre anak-anak, hingga genre dewasa. Dari bentuk cerpen, hingga novel. 

Akupun suka ikut kelas offline atau luring serta workshop kepenulisan. 

Aku masih inget banget, ikutan workshop menulis sehari bareng Asma Nadia, juga pernah bareng Pena Lectura, tak lupa workshop bareng Triani Retno dan Bambang Trim. Ini adalah sebagian kelas offline berupa workshop yg kuikuti. Bang Asis, suamiku, berperan besar di sini. Karena dia bersedia menjaga Billa saat aku belajar di ruangan. Dia dan Billa menunggu di ruangan lain dan aku biasanya bolak-balik memberi ASI untuk Billa putri pertamaku. 

Yang paling mengesankan untuk karir menulisku di bidang novel anak adalah 2 kelas offline.

Satu kelas workshop First Novel kerjasama Tiga Serangkai dengan Komunitas FPBA. Aku lolos melahirkan 2 novel anak  serial Odie dari workshop pertama di Bandung 2010. 

Kemudian, aku ikut kelas offline dalam beberapa kali pertemuan, bersama kelas ajaibnya Bhai Benny R di Museum Mandiri. Dari kelas ini aku melahirkan 2 novel anak yakni The Cousins dan Gomawoyo Chef!

MasyaAllah, aku juga ikut dan lolos audisi Workshop Room To Read 2017 dan 2018 di Yogyakarta. Hingga lahirlah Pictoral Book pertamaku berjudul Tuing-Tuing dan Sihir Otir. 

Alhamdulillah, puluhan kelas online dan offline tersebut memberikan banyak sekali keuntungan buatku baik sebagai penulis pemula 11 tahun lalu, maupun menjadi mentor sekarang ini di kelas Permen (Program Menulis Novel (Anak) dan kelas Perca (Program Menulis Cerita (Pendek) Anak) sejak 5 tahun lalu.

Berikut ini, sedikit simpulan jika tertarik kelas online atau offline.

Jika memilih kelas online, maka keuntungannya adalah, menghemat waktu, terutama bagi ibu rumah tangga model saya. Nggak perlu ke luar rumah, hemar ongkos, cukup mantau dan konsen dari rumah sambil berhadapan dengan gadget atau laptop. 

Cenderung memiliki fleksibilitas waktu yg cukup. Sehingga bisa sambil mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Jeleknya sih, susah fokus sehingga sering kali pengetahuan yg didapat tidak 100 persen dipahami. Selain itu, semangat menulisnya lebih banyak datang dari diri sendiri. 

Atmospere semangat menulis tidak terlalu besar, meskipun tetap memberi pengaruh banyak bagi mood booster menulis.

Sementara itu, kelas menulis offline, membutuhkan effort lebih besar karena harus hadie secara fisik di lokasi dan mengikuti kegiatan seharian atau lebih dari 2 jam. Ini membutuhkan siasat waktu dan ijin pasangan jika kita emak-emak ya.  Karena harus meninggalkan pekerjaan maupun rumah tangga berikut isi keluarganya dalam beberapa waktu.

Kelebihan ikut kelas offline menurutku adalah lebih fokus dan cenderung bisa konsentrasi penuh saat mengikuti kelas karena diliat langsung. Selain itu athmospere dr belajar bersama itu membuat semakin semangat menulis karena tidak saja situasinya namun kesempatan diskusi dan brainstorming bersama teman-teman satu profesi, sangat mudah memancing ide dan semangat menulis.

Demikianlah, sebagian kecil pengalamanku mengikuti kelas menulis. 

Buatku, dunia belajar melalu kelas menulis inilah yang membuatku mampu menulis dan menjadi mentor menulis seperti sekarang.

Rasa-rasanya akan lebih sulit buatku untuk bisa mencapai posisi saat ini, jika aku tidak ngotot belajar menulis melalui kelas-kelas dari banyak penulis berpengalaman..

Jadi, kamu tunggu apa lagi? Yuk segera ikutan kelas menulis. Aku juga punya rencana beberapa bulan lagi akan buka kelas online menulis novel anak, mulai dari awal hingga 2 bab pertamanya. InsyaAllah.

Wish me luck and good luck for u.... 

#diarypenulis
#kelasmenulis

Jul 31, 2020

Niat Menikahmu Adalah Ujian Rumah Tanggamu

gambar ambil dari sini




Niat dan Ujian 

Kita sering sekali mendengar hadish yang menyatakan, bahwa amalan seseorang itu bergantung pada niatnya. Dan ia kan mendapatkan sesuatu itu sesuai niatnya.

Aku, lalu mencari hadish ini di internet, dan menemukan yang lengkapnya berbunyi : 

Dari Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits)

Baik...

Aku sedang tidak ingin berceramah. Selain memang bukan kapasitasku, juga karena ilmuku yang minim terkait hal ini. 

Namun, ada satu hal, yang ingiiin sekali kutuliskan sejak beberapa waktu lalu. Tentang Niat ini dan kukaitkan dengan Ujian hidup setelah berumah tangga.

Terus terang, awalnya aku tidak terlalu ngeh dengan kondisi yang kuhadapi sekarang, adalah terkait dengan niat awal ketika aku menikah. Setelah nyaris 21 tahun menikah (Semoga Allah melanggengkan pernikahanku dan menjadikannya SAMARA, amin), aku kemudian berpikir mundur ke awal pernikahan.

Dulu, saat aku pertama kali hendak menerima lamaran seorang laki-laki, sebetulnha niat apakah yang terbersit dalam hati? Niat seperti apa yang terlontarkan  dan niat macam apa yang sanggup tertulis dalam pikiranku?

Sungguh,... kala menerima lamaran Ayah Billa Aam, aku ndak pernah terpikirkan, bahwa kelak di kemudian hari, aku akan merasakan "nikmatnya" buah dari niat sebelum menikah tersebut.

Oke, sebelum aku cerita tentang pengalaman pribadi, yang bisa saja sangat subyektif, atau bahkan mungkin saja, hanya kualami sendiri, maka ijinkan kutuliskan sedikit tentang makna niat dan ujian.

Jadi, kita samakan dulu nih persepsi, tentang gimana sebetulnya niat tersebut, dan apa yang dikategorikan ujian dalam tulisan ini?

Aku menggunakan kamus online, tentu saja. Jadi dijelaskan bahwa  Niat (Arab: نية Niyyat) adalah keinginan dalam hati untuk melakukan suatu tindakan yang ditujukan hanya kepada Allah. Sementara dalam KBBI Online, dinyatakan bahwa ni·at n 1 maksud atau tujuan suatu perbuatan: 2 kehendak (keinginan dl hati) akan melakukan sesuatu.

Oleh karena itu, aku mengonsepkan pengertian niat, sebagai keinginan hati untuk melakukan suatu tindakan atau tujuan atas sebuah perbuatan atau sebuah kehendak dalam melakukan sesuatu. Niat karena Allahnya, kutulis belakangan. Karena terus terang, saat menerima lamaran dulu itu, meski kuupayakan karena Allah, tapi tetap aja ada niat tambahan atau embel-embel, yang memberiku sejumlah ujian atas konsepku tersebut. 

Sementara, pengertian Ujian, bukanlah sejenis dengan ujian sekolah atau tertulis sekalipun. Ini lebih kepada upaya yang muncul dalam mengukur atau mengetahui mutu ketahanan diri atau rumah tangga dalam hal ini. 

Ini kusimpulkan dari pengertian Uji dan Ujian dari KBBI Online. Bahwa :  uji1 n percobaan untuk mengetahui mutu sesuatu (ketulenan, kecakapan ketahanan, dan sebagainya). Sementara  ujian adalah 1 hasil menguji; hasil memeriksa; 2 sesuatu yang dipakai untuk menguji mutu sesuatu (kepandaian, kemampuan, hasil belajar, dan sebagainya).

Baiiiik. Segitu aja seriusnya yaaa. :)

Sekedar mau kasih gambaran... saat kutulis postingan ini, aku memiliki konsep perihal niat dan ujian,  kayak gitu.

Niat sebelum nikah. Lalu ujian yang didapat setelah menikah.

Tapi, tunggu sebentar....

Apa betul, kalau niat kita sebelum nikah akan diuji setelah nikah?

Wallahulalam.

Kukira, patokan dari hadish yang kucuplik di atas itu, cukup menunjukkan kemungkinan bahwa apapun yang kita lakukan, amalan apapun itu, termasuk menikah, adalah tergantung niat. Rasulullah SAW menyatakan bahwa, seseorang, siapapun dia, akan mendapatkan sesuatu itu, sesuai niatnya.

Jika kita hubungkan dengan pernikahan, maka seseorang, akan mendapatkan bentuk pernikahannya, lengkap dengan ujiannya, sesuai dengan niat.

Kira-kira gitu pola otakku berpikir. Teman pembaca boleh setuju, boleh nggak kog. Kan dari awal sudah kubilang, bisa jadi tulisan ini sangat subyektif, meski aku tetap mencoba mendasarinya pada hal-hal yang logis. 

Nah...

Sekarang aku akan coba masuk ke inti tulisan. Hehehe dari tadi, rupanya baru prolog toooh? *smile ear to ear.

Aku ingin menceritakan apa yang terjadi pada diriku, tentang kejadian paska pernikahan, yang bisa jadi, awalnya tidak kurasakan sebagai ujian yang terkait dengan niat awal nikah. Namun, semakin ke sini, semakin terasa, bahwa demikianlah Allah menetapkan fase hidupku sebagai manusia.

Jika niatnya banyak embel-embel diluar karena Allah, maka ujiannya juga seputaran embel-embel tersebut. 

Aku, Niat dan Ujian Pernikahan 

Jadi, begini teman pembaca sekalian... 

Mau narok foto pernikahanku, tapi waktu itu belum berhijab sih.
jadi pinjem foto ini aja 
kurang lebih pakaian kami gini lah dulu.. hehehe
Anggap saja, foto diperagakan oleh model. hihi

Hampir 21 tahun yang lalu, kala aku dilamar seorang laki-laki yang baik dan sholeh, usiaku baru 25 tahun. Dan kupikir, aku terima sajalah lamarannya, niat awal bisa jadi karena Allah, namun juga karena aku ingin menyenangkan hati orang tuaku terutama Papa. Aku juga mencari suami yang mendukung karir dosen dan pendidikanku. Aku ingin sekolah setinggi-tingginya. Kalaupun punya anak, pengennya banyak juga sih. Biar rame. Karena aku hanya 3 bersaudara dan perempuan satu-satunya. 

Sementara suami, setelah kuingat-ingat, selain niat dia menikah karena Allah, niat utamanya juga ingin menyenangkan hati orang tuanya, terutama Mami mertua, juga mencari istri yang mendukung keinginannya,  membantu orang tuanya menyekolahkan ke 5 orang adik-adiknya hingga kelar kuliah.

Sampai di sini, tidak ada yang aneh dari niat kami berdua. Iyakan? 

Hingga kemudian pernikahan terjadi, dan satu demi satu ujian hadir dalam hidupku, dan bisa jadi dirasakan juga oleh suami. :) 

Hemmm...

Yakin, masih tertarik untuk lanjut membacanya? 

Oke deh kalau yakin... Soalnya bakalan panjang nih tulisan..:) Tapi aku tulis yang kisah besarnya saja ya...

Niat Menyenangkan Hati Orang Tua

Di antara hal yang kami anggap menyenangkan hati orang tua adalah, aku dapat berkarir baik di dunia mengajar ilmu hukum di kampus, dan suami bisa menyekolahkan adiknya 5 orang hingga kelar kuliah (meski salah satu ada yang tak sampai selesai, karena keinginannya sendiri). 

Karena niat inilah, kemudian ujian yang kami terima adalah, saking fokusnya kami pada kebahagiaan hati orang tua, (tak perlu kuceritakan gimana jungkir baliknya suami dan aku dalam menciptakan perasaan bahagia itu), maka kami mendapati kenyataan, bahwa kami harus berhemat ketat, tak bisa memenuhi keinginan pribadi berdua terkait harta dunia, seperti kendaraan atau rumah yang layak tinggal. Mengandalkan beasiswa, bagi sekolahku pun adalah wujud upaya menyenangkan orang tua.

Tapi, sisi positifnya, karena kami belum dikaruniai anak, maka kami berhasil menjalaninya tanpa beban berat. Kami fokus pada keluarga besar dan dilakukan dengan tawakal. Sehingga saat melihat hasilnya, saat saudara-saudara kelar kuliahnya hingga turut mengantarkan  di antara mereka menikah dengan lancar, rasanya luar biasa senang. Apalagi kalau melihat tawa bahagia Mami, Papi mertua atas pengabdian anak sulung mereka (suamiku), ataupun senyum bangga Papa dan Mama terhadap perjalanan karir kuliah dan mengajarku. 

Sampai sini, kayaknya semua berjalan baik. Perjuangan kami mencari materi untuk semua itu, berhasil kami tahlukkan dengan berhemat,sehemat mungkin. Tak jarang aku sering mendengar cemooh "istri perwira kapal kog gak punya hape?" atau "gaji dollar, kog rumahnya nyewa?" dan bahkan ada sodara yang nyelekit banget bilang "lain kali kalau ke sini mobilnya ganti ya. Gak malu apa, pinjem mobil tua milik sodara si Dian mulu?"

Hahaha... sekarang sih aku bisa ketawa geli. Tapi tidak saat peristiwa itu terjadi. Mengikhlaskan semuanya demi kebahagiaan orang tua, adalah ujian dari niat awal pernikahan kami. Bahkan ujian berikutnya naik level banget, setelah kami berhasil mengantarkan adik-adik kelar kuliah, dan punya sebuah rumah seken yang dibeli dari hasil tabungan mati-matian kami selama 7 tahun menikah.

Niat Sekolah Setinggi-tingginya. 

pinjem dari sini 

Untuk niat yang satu ini, ujiannya juga keren nih. Aku yang mengira tak akan dikaruniai anak karena kondisi kekuranganku, akhirnya fokus pada sekolah. Dari S1 lanjut S2, dan jeda 1.5 tahun lanjut s3. Walhasil, waktu itu, usiaku baru 32 tahun, aku lulus Kandidat Doktor. Proposal Disertasiku lulus dengan nilai A. IPKku hingga semester ke 5 itu adalah 4.00.

Kayaknya, mimpiku menjadi doktor pun akan segera menjadi kenyataan.

Hehehe

Tapi itukan pengennya aku ya? Inginnya seorang manusia.
Ketetapan akhirkan hanya milik Allah.

Setelah disindir bertahun-tahun tak punya anak, karena dianggap aku gila sekolah. Lalu ketika aku sekolah, dihina dengan fitnah menghabiskan uang suami untuk sekolah. Akhirnya ujiannya naik tingkat.

Aku diminta oleh dokter kandunganku untuk memilih.

"Ibu mau punya anak, atau terus menekuni buku-buku setebal bantal itu? Karena hormonal Ibu yang tak beres itu, dipengaruhi juga oleh rasa capek kerja otak mendalami teori-teori dari buku-buku kuliah Ibu."

Jreng...Jreng...

Sebuah ujian baru. Sebuah pilihan hidup lagi. Sebuah tantangan dalam bersikap. Mana yang kau pilih Dian? Berusaha untuk punya anak atau menyelesaikan S3 yang tinggal sedikit lagi?

Tak ada pilihan yang bisa memenuhi keduanya. Ada banyak ujian yang kuhadapi demi sekolah tinggi-tinggi ini sebelum nikah. Dan pada akhirnya, aku memilih meninggalkan diktat dan buku-buku tebal itu, demi menjalani segenap proses terapi, agar berhasil memiliki momongan.

Mudahkah?

Alhamdulillah, jika dibandingkan dengan teman-teman lain yang bertahun-tahun berupaya, aku boleh dibilang mujur. Setelah 7 kali gonta ganti dokter di 3 daerah. Kemudian 9 tahun menanti. Juga proses 10 bulan terapi, akhirnya Allah mengijinkan aku dan suami punya momongan. Aku dinyatakan hamil,

Dan selanjutnya? Ah, bisa dibaca di sini deh... itu juga kalau teman-teman belum tahu kisahnya. :)

Walhasil, niatku yang dulu ingin mendapat suami yang membolehkan aku sekolah setinggi-tingginya tercapai, tapi ujian berikutnya adalah harus memilih antara sekolah atau terapi untuk punya anak.

Niat kami untuk menyenangkan orang tua lebih dahulu tercapai, tapi harus mengalah dengan bekerja keras dan belum punya momongan dulu, karena awal2 pernikahan kami tidak konsen dan tidak fokus berobat ke dokter. Bahkan dulu tidak ada niatan untuk berdoa khusus punya momongan, di awal nikah dulu.

Niat kami untuk menyelesaikan sekolah adik-adik dulu tercapai, tentunya dengan tidak bisa mengharapkan banyak bisa menyimpan materi demi membeli rumah atau mobil di 10 tahun pertama pernikahan. Hehehe..

Jadilah, setiap yang aku dan suami niatkan di awal pernikahan, menjadi ujian bagi kami berdua.

Hingga, belasan tahun kemudian aku tersadar, bahwa harusnya niatnya hanya satu. Yakni Karena Allah. Bukan karena hal-hal lain. Karena kalau ada bonus niatan lain, tak pernah bisa diduga, jika ujian rumah tangganya muncul lewat niat kedua tersebut. Astagfirullah....

Sekarang, bagaimana dengan niat teman-teman? 

Ada beberapa kejadian di depan mata dan kudengar dari pelaku rumah tangga di sekitarku. Faktanya, Semua pihak ini mengalami ujian rumah tangga, yang jika kita perhatikan, ternyata terkorelasi dengan niat awal. Bisa jadi semua awalnya niat karena Allah. Namun, ada embel-embel yang menyertakan dari pernikahan tersebut.

Berikut beberapan Niat (alternatif atau kedua) dari sebuah pernikahan, yang kuketahui, dan berujung pada ujian kehidupan rumah tangga tersebut:

Niat  Menikah, Agar Punya Momongan

Berdasarkan niat ini, seseorang menikah. Maka ujian yg didapat justru terkait sulitnya punya anak. Ada teman yang sudah menikah dua kali, namun gagal bahkan rahimnya harus diangkat. Beruntung suami tetap setia mendampingi. 

Ada juga kenalan, yg akhirnya punya anak setelah belasan tahun menikah, namun baru beberapa hari lahir, anaknya diambil Allah kembali.

Ujian ini tentu berat sekali, karena kenalanku ini memang niat menikah ingin punya anak. Lisannya dinyatakan padaku, terutama saat kenalan ini memilih menikah lagi dengan orang lain. 

Niat Menikah, Agar Cepat Halal Hubungannya

Kalau ini, kisah seseorang yg tergesa-gesa menikah karena ingin segera halal. Walhasil ujiannya justru muncul dari kata halal tersebut. Suaminya menyekapnya di rumah, dengan alasan halal baginya melakukan h tersebut. Suaminya memukul dan berteriak marah, dengan alasan si Istri tidak patuh dan itu haram. Dan seterusnya. Mengerikan juga jika kupikir. Padahal niat menghalalkan hubungan adalah baik. Tapi bisa jadi, kenalanku itu lupa mendahulukan niat karena Allahnya. 

Niat Menikah, Agar Ada Yang Bantuin Ekonomi Keluarga

Kalau ini seru lagi. Seseorang menikah karena ingin punya suami yg membantu ekonomi keluarga besarnya.
Alhamdulillah menjadi kenyataan. Suami berkecukupan dan ikhlaa membantu keluarga besar istri. Walhasil, ujian rumah tangganya bolak-balik berasal dari keluarga besar yang hingga mereka tua sekalipun, minta dibantu terus secara finansial. Aneh memang. Tapi demikian adanya.

Niat Menikah, Agar Diterima Diri Ini Apa Adanya

Kalau ini, seru juga. Dengan niat demikian, maka suami istri yg aku kenal ini langgeng hingga akhir hayat. Namun konfliknya ya berputar di masalah yang penyelesaiannya adalah "ya sudah, aku nikahin kamu apa adanya." Hehehe. Bahkan suami gak berani mengeluh kala istri terlalu lugu untuk diajak berdiskusi banyak hal. 

Terima resiko atas menerima apa adanya tersebut. 

Niat Menikah, Agar Bisa Menikah Tahun Ini

Ada kenalanku berkeras hati, meniatkan diri harus menikah tahun inj. Terwujudkah? Yup! Terwujud.

Sayangnya, dia lupa menambahkan niat nikah tahun ini karena Allah.

Karena yang terjadi adalah, si Kenalan memiliki sindrom pernikahan ala cinderella. Mengira sebuah pernikahan itu indah seperti cinderella. Hehehe.

Akhirnya? ya sesuai niatnya, ingin menikah tahun ini dan di akhir tahun bercerai. Karena kaget dengan pernikahan yang menurutnha mengekang kebebasannya. Astagfirulah.

Ada banyak lagi sebetulnya kejadian  atau ujian yang menimpa banyak pasangan karena niat menikahnya.

Misalnya, 
Niat menikah, agar tetap bisa dengan pilihan hati. No matter what.
atau 
Niat menikah, karena tergoda fisiknya belaka.
hingga
Niat menikah, karena suka dengan sikap atau karakternya yang berbeda..

Bisa kebayang gak, gimana ujian yg akan mereka hadapi dengan niat-niat menikah tersebut?

Aku pribadi menuliskan semua ini, bukan menakut-nakuti teman-teman yang belum menikah. Bukan itu...

Aku hanya mengingatkan berdasarkan pengalaman yang ada, agar selalu rajin meluruskan niat. Aku melakukan hal tersebut. Kadang lupa, teringat lagi saat datang ujian rumah tangga menyolek hati terkait niat awal dulu. 

Buru-buru istigfar. Meluruskan kembali niat dan memperbaiki kondisi hati agar ikhlas.

Berhasilkah?

Kadang-kadang.

Sulit, ya?

Iyalah. Karena menikah itukan dijanjikan Allah sebagai upaya menggenapkan setengah agama. Mana mungkin dikasih gampang ujiannya. 

Iya, kan?

Jadi, sudah memperbaiki niat ingin menikah saat ini?

#diarybunda
#rumahtangga 








Jan 26, 2018

5 Hal Seru yang Harus Kamu Lakukan di Gembira Loka, Yogyakarta



Liburan hampir tiba, dan kamu belum punya rencana mau membawa anak-anak ke mana? Supaya lebih bermanfaat, ada baiknya mengajak mereka berlibur ke tempat yang juga bisa sekalian belajar. Bagaimana kalau kita terbang ke Jawa Tengah, mencari tempat wisata di Yogyakarta yang cocok untuk membawa para bocah?

Kali ini, kita bakal jalan-jalan ke Kebun Binatang Gembira Loka, tempat yang cocok banget untuk memperkenalkan secara langsung binatang-binatang yang ada di sana pada anak-anak. Area seluas 20 hektar ini terletak di Jalan Kebun Raya, Rejowinangun, Kotagede. Selain melihat-lihat dan mempelajari banyak binatang, ada banyak kegiatan seru lainnya, yang bisa kita lakukan di sini, yang tentu saja masih ada hubungannya dengan binatang. Apa saja itu?

1. Pertunjukan Atraksi Hewan


sumber:gembiralokazoo.com

Beberapa hewan di sini sudah terlatih dan siap menghibur pengunjung dengan atraksi mereka. Serupa sirkus, tontonan binatang memang jenis hiburan klasik. Di tempat wisata Yogyakarta yang satu ini, kamu bisa melihat singa laut, beruang madu naik sepeda, orang utan, dan bahkan hamster jadi bintang panggung. Wahana yang satu ini selalu dipenuhi pengunjung, baik anak-anak maupun orang dewasa.


2. Wahana Air

Tempat ini punya semacam danau buatan yang berada di tengah area. Kamu bisa ajak anak-anak main speedboat dan banana orca. Atau kalau mau lebih santai, kamu bisa pilih main sepeda air yang digenjot sendiri keliling danau dan menuju pulau kecil buatan, tempat merak berkeliaran. Kebayang serunya? Jika beruntung dapat kesempatan melihatnya, tentunya kamu tak boleh melewatkan kesempatan untuk mengabadikan merak yang ekornya sedang mekar.

Bermain air memang punya daya tarik tersendiri, terutama untuk anak-anak. Selain di Gembira Loka, masih banyak kok lokasi wisata yang berhubungan dengan air yang informasinya bisa kamu cek di situs resmi Traveloka ya!

3. Keliling Naik Gajah & Unta



sumber:gembiralokazoo.com

Seperti kebanyakan kebun binatang yang ada di Indonesia, kamu juga bisa menunggangi gajah atau unta di Gembira Loka. Tak perlu khawatir jatuh, karena ada pawang yang menjaga. Satu gajah bisa mengangkut 3 orang dewasa, termasuk pawang yang biasanya duduk di bagian depan. Unta juga bisa ditunggangi 3 orang, dan pawang bertugas menarik tali yang diikatkan di mulut binatang itu. Kasihan memang, tapi ini jadi salah satu kegiatan yang laris di sini.

4. Foto Bareng Binatang

Pihak Gembira Loka menyediakan fasilitas foto bersama beberapa binatang, yang juga sangat diminati pengunjung. Kamu bisa foto bareng ular boa yang melingkar di badanmu, atau berpose santai bareng iguana dan kura-kura tanpa khawatir. Binatang-binatang ini sudah jinak, dan ada pawang yang menemani selama proses foto. So, ini bakal aman buat anak-anak juga. Setelah berfoto, kamu bisa langsung menerima hasil cetaknya.

5. Hunting Foto


sumber:gembiralokazoo.com

Pastinya di era sekarang ini kamu tak mungkin pergi ke suatu tempat yang indah tanpa berburu spot atau obyek yang bagus untuk diabadikan. Nah, kamu bisa jadikan binatang-binatang di sini sebagai sasaran bidik kameramu. Tentunya kamu bakal dapat banyak sekali foto kece dari tempat ini. Jangan lupa juga berfoto bareng keluarga, sebagai kenang-kenangan liburan seru tahun ini di Gembira Loka.


Well, itu tadi hal-hal seru yang bisa kamu lakukan di salah satu tempat wisata di Yogyakarta ini. So, siapkan hari liburmu, beli segera tiketmu, bereskan perlengkapan yang akan kamu bawa, dan berangkat kita ke Yogyakarta! Selamat berlibur!

Nov 15, 2017

(Room To Read) Bagian ke 5 : Hari Terakhir Workshop di Yogyakarta

Warning : 

Tulisan mengandung unsur model tulisan curhat

Jadi, akan panjang kali lebar banget, Dan aku tidak memberi garansi para pembaca akan mendapatkan pengetahuan khusus menulis pada artikel ini 
Plus maafkan jika bahasanya campur-campur. Semua berdasarkan catatan pribadi belaka

Ini adalah selfie terbaikku. Saat nervous karena mau maju presentasi, aku suka iseng
ini adalah hasil dari iseng tersebut.
Nice right? Hahaha

Hai...

Sebelum aku lanjut pada bagian akhir catatan workshop Room To Read yang terakhir ini. Simak juga cerita sebelumnya di sini : http://www.dianonasis.com/2017/11/room-to-read-bagian-ke-4-hari-ke-3.html.

Oke then...

Kita lanjut cerita hari ke 4 atau terakhir dari Workshop ini ya... 

Ruangan baru untuk presentasi 

Kali ini, pindah ruangan nih. Selain penyegaran, harapan lainnya lebih sejuk kalau terbuka dan signal internet kayaknya lebih friendly di kawasan ini. :) 

Para peserta workshop serius mendengar presentasi dan masukan dari tim 
Nah!,.. Di hari ke 4 ini, sebagaimana sudah aku ceritakan di tulisan sebelumnya, bahwa setiap kelompok diminta untuk menyiapkan semua anggota untuk maju presentasi, menjelaskan draft naskah mana yang kira-kira paling cocok, paling serg atau paling pas untuk ditulis oleh anggotanya. 


Alfredo membuka kegiatan hari ini dengan menjelaskan beberapa hal penting terkait cara atau kriteria untuk memberi komentar pada sessi presentasi ini : 

1. Make sure, is the narrative of BME clear and consistent?
2. Are the characters engaging to each other?
3. Is the story, child friendly? 

Kira-kira itulah point yang perlu dikomentari, selain jika peserta lain ada informasi mengenai naskah peserta yang presentasi. 


Adjuy, salah satu teman satu kelompokku.
Tulisannya tentang Desa Pelangi, sungguh keren...:) 
Ini teman-teman peserta workshop, kembali menikmati hasil karya alumni sebelumnya 

Sebetulnya hal ini tidak masalah buatku. Beneran nggak masalah. Aku biasa menghadapi mahasiswa ratusan saat ngajar dulu. Sampai, saat satu, dua dan tiga teman mulai maju mempresentasikan naskah mereka. Aku mulai sakit perut. 

Kepalaku cenut-cenut mendadak, dan aku kehilangan selera makan. 

Ada apa sih?

Hahaha...

Aku lebay aja. 

Sebetulnya, aku kaget dengan rapi dan menariknya naskah-naskah teman tersebut. Mereka paham bagaimana menempatkan tulisan, illustrasi serta deskripsi naskah. Bahkan ada yang sudah bisa membuat story boardnya.

O OW...

Aku gak paham istilah-istilah yang digunakan dalam picbook. Apa itu zoom out, apa itu angle anu itu dan spread benda apa lagi itu? wkwkwkkw

Aku ngeblank. 

Terus terang, aku sakit perut. Bukan lapar atau haid. Tapi karena stress.

Saat coffee break, aku buru-buru kabur ke kamar sebentar. Lalu menenangkan diri di sana. Pengennya sih sholat dhuha. Tapi lagi haid. Walhasil, aku urus aja dulu anak-anak sebentar, ngobrol dengan suami yang ringan-ringan, dan saat keluar kamar, lirih aku bilang ke Bang Asis... "Bantu doa buat Dian ya Bang?" Anggukannya membuatku agak ringan. 

Kakiku kembali melangkah ke ruangan kegiatan.

Sepanjang perjalanan dari kamar ke ruangan tersebut dekat sekali. Tapi, aku sibuk mengomeli diri sendiri. Kenapa sih jadi stress? Bagian mana yang bikin gak pede sih Dian? Kenapa gak kerja aja maksimal? Toh teman-teman  yang tadi maju udah biasa nulis picbook dan menggambar illustrasi. Bla.. bla... bla...

Yup!

Aku mensugesti diri ini. Dan itu sudah lama tidak kulakukan. Terakhir kalau gak salah, mau lahiran Billa deh, aku kayak orang gila mensugesti diri gini. Wkwkwkkw

Anyway... 

Saat aku maju presentasi pun sebetulnya aman dan damai. Eh? Maksudnya gak ada dikhawatirkan. Masukan-masukan tak banyak lagi, karena kemaren aku udah maju dengan tema folklore tentang Ikan Terbang. Jadi beberapa bagian saja kuperbaiki. Kulihat Alfredo cukup puas dan suka dengan naskah itu. 

Kemudian, apakah semua urusan ini selesai begitu saja?

Jreng...jreng... ! :) 

Yang pasti, kami sempat melakukan ice breaking lagi. Kemudian sempat foto-foto dulu, makan-makan dulu, diskusi dulu dan becanda dulu. Lumayan mengendorkan stress hehehe

Masih bisa becanda lho tim Puspa Swara...:) 

Foto ini kalau tidak salah diambil oleh Afin, tim dari Mizan.
Senang deh gabung di tim Puspa Swara :) 

Foto bareng
Ki-Ka : Aku, Uni Eva Nukman, Adjuy, Heru (duduk), Ida, Yuniar, Astri, Christine, Nur A 

Kemudian, kami kembali ke ruangan, lalu melanjutkan presentasi semua peserta hingga tuntas. Beberapa naskah sudah kelihatan menarik, beberapa menimbulkan pro kontra, dan beberapa aku lupa mereka nulis apa. Hehehe... 

Lalu, acarapun ditutup dengan pembagian sertifikat. Sayang Al lagi sakit perut karena makan siang salah makan kayaknya. Jadi diwakili oleh mbak Rina. 

Yey.. Dapat sertifikat. Mbak Rina yang mungil, atau aku yang gede banget sih? Hiks 


Aku sendiri menyempatkan berfoto dengan beberapa teman yang belum sempat diajak ngobrol atau foto bareng. Kesempatan wefie bareng penulis-penulis keren dan beken. Hahaha

Ini salah satu foto kesukaanku. Ayo tebak, aku foto ama siapa aja ini? :) 

Aku sendiri juga bersiap untuk mengecek hasil packing suami. Yup! kami malam ini harus pulang ke Tangerang Selatan lagi. Anak-anak udah harus sekolah lusa, juga ayah mereka harus ngantor besok lusa. 


Hiks... Aku gak sempat ikutan di foto ini. kadung udah kabur cek out
Buru-buru ke stasiun, khawatir telat :) 

Di saat teman-teman lain foto-foto lanjutan, dan beberapa malah bersiap mengeksplore Yogya, aku dan keluarga dijemput oleh Putu, sahabatku, untuk diantar ke stasiun kereta.

Ah, ternyata stasiun kereta Jogja cakep ya. Ada arena bermain anak-anak 


Bersih dan ada live musicnya.
I love this stasiun 

Ini orang-orang yang mensupportku dengan cara mereka sendiri.
Kadang kalau lagi pusing, lihat kelakuan Billa dan Aam, aku jadi ketawa ngakak.
Sekarangpun geli juga sih, lihat suami tau-tau beli blankon dan make sepanjang malam perjalanan pulang.
wkwkwkwkw 

Aku belanja oleh-olehnya nitip sama Putu nih, Selama workshop, kami benar-benar tidak sempat eksplore Jogja sama sekali.  Anak-anak sih tetap senang karena liburan di hotel yang kawasan halamannya luas dengan fasilitas yang mumpuni. Sementara aku? Nggak sampe di sini saja sih rasa yang tertinggal di hati.

Aku masih deg-degan.

24 peserta workshop, akan dicut atau dikurangi menjadi 20 penulis. 

Saat aku tahu, aku lolos di babak (cieee babaaak) ini, aku bersyukur, tapi sekaligus sakit perut. Karena meskipun tinggal 20 penulis, tapi ada 24 naskah yang digarap. Karena menurut Tim dan Al, ada 24 naskah yang menarik untuk ditulis. 
Walhasil, akan ada babak drama pemotongan naskah, karena setiap workshop Room To Read hanya menyajikan 20 naskah saja. 

Selesai workshop ini, tanggal 14 dan 15 September, kami presentasi lagi kepada tim Provisi, Editor dan Alfredo. Naskahku sendiri mengalami perubahan. Selama workshop, naskah Ikan Terbang ini mengalami 3 kali revisi. Lalu menjelang tanggal 14-15, naskah tersebut berubah, dari Modifiikasi Folklore, menjadi Fabel tentang Ikan terbang. Lalu di tanggal 14 September, hasil presentasi mengarahkan, agar aku merevisi naskah itu dalam sehari, untuk kembali datang lagi tanggal 15 September pagi, dan menjadi naskah Narrative Non Fiction. 

Jangan tanya, bagaimana caraku menghadapi babak demi babak drama revisi ini. Hahaha.... 

Ini adalah salah satu caraku merevisi naskahku yang ke 6 kalinya
Jadi naskah fabelku berubah jadi naskah Non fiksi bernarasi
Kugunakan pola gambar seperti ini dulu. Ada banyak gambar  yang kubuat malam tgl 14 itu
Lalu aku rapikan.
Aku masukkan ke dalam naskah satu persatu.
Baru kuperbaiki bahasanya dan logikanya
Aku sampe riset dan ngeprint sebuah skripsi mahasiswa soal ikan terbang
Juga nongkrongin 2 picbook bertema narasi non fiksi
serta surfing mencari tahu banyak hal. dalam hitungan beberapa jam saja.
Kebayang dah, hanya itungan semalam, mengubah naskah tersebut. Hahaha


Anyway... so far, naskah Ikan Terbang itu, berhasil masuk ke 20 naskah yang akan digambarkan oleh 20 illustrator hasil dari workshop room to read khusus illustrator. Dan kelak, akan ada babak revisi, terkait juga dengan reading test pada anak-anak. Hihihi.... Seru yaaa...:) Aku masih sakit perut lho... Ngebayangin naskah tersebut sudah berganti genre, dan akan didengar oleh anak-anak. Semoga mereka suka. Sehingga naskah itu layak terbit. 

Doakan aku yaaa.... Bantu doa, semoga perjalanan naskah itu berhasil jadi buku, dan disukai seluruh anak-anak yang membacanya. Ini kuniatkan banget nih saat pertama kali nyoba audisi ini pertengahan tahun ini. :) 

Btw...


Pastikan batas waktunya
Jangan lupa riset bahan cerita dengan baik ya. 



Ayo, ikutan yuk... Ini workshop keren namun penuh drama. Siapkan mental. Kosongkan gelas egonya. Karena di mata Room To Read, membuat buku pic book adalah kerja tim. Ini bukan kerja personal si penulis atau illustrator. Ini kerja tim dari penulis, illustrator, editor hingga desainer. Jadi tak bisa bawa gelas ego penuh. Bakalan kaget. hehehe

Semangat ya teman-teman. 

Sekian aja deh ceritaku. Pengen nulis panjang lebar. Tapi, aku harus kembali fokus melanjutkan tulisan yang lain. Di kepala ini sudah ada tulisan tentang Rumah Dunia dan Lapas yang aku kunjungi kembali bersama teman kemarin ini.

Terima kasih sudah tabah baca semua tulisan dari bagian pertama hingga akhir ini ya. 

Good luck! 


Patah Hati Berbuah Domain Diri

Berdiri di samping banner buku " Dan Akupun Berjilbab" yang aku susun.
Isi buku ini berasal dari lomba "Jilbab Pertama"
yang aku gusung di Multiply tahun 2010, terbit 2011 akhir dan best seller di tahun 2012.


Aku sudah lama mengenal blog. Sekitar awal tahun 2004. Sebelumnya cukup rajin menuliskan kisah dan curhatan hati di blog milik (alm) Friendster.

Belajar ngeblog dengan lebih rutin justru di Blogspot, dan kemudian makin intens di Multipy, yang sebentar lagi akan "membunuh diri".

Aku benar-benar patah hati, ketika tahu Multiply tak akan lama bisa dinikmati. Nyaris pertengahan bulan Ramadan tahun 2012, aku menghentikan tulisanku di sana. Sibuk menyimpan file-file dan akhirnya migrasi ke Blogspot lamaku, dan menjajal areal baru di Wordpress.


Tapi aku kehilangan gairah ngeblog.
read more