Jul 25, 2021

Pandemik Oh Pandemik



Telat gak sih bahas soal covid 19 berikut pandemiknya?
Setelah mengalami berbulan stay at home dan hanya keluar jika memang penting, ditambah semakin ke mari, semakin seram varian corona yang merajalela selama pandemik berlangsung.

Tapi, kupikir, meskipun begitu banyak hal buruk atau tak menyenangkan yang terjadi selama ini di diri kita, keluarga kita dan sekeliling kita, bukan berarti kita tak boleh memupuk harapan, mematikan motivasi dan tak ingin berpikir positif bagi kelangsungan masa depan hidup kita, kan?

Bisa jadi, semua ini sudah ditetapkan Allah, agar yang tersisa adalah manusia-manusia yang kuat berikhtiar, atau sebaliknya, yang diperkirakan perlu diuji agar naik kelas keimanannya dari yang level zero ke level hero, alias dari  yang tak peduli soal keimanan, hingga akhirnya percaya dan beriman tentang takdir.

Anyway, bukan itu sih yang ini aku tulis sebenarnya. Ya, emang ada kaitannya dengan pandemik juga. Namun, aku  mencoba tidak menuliskan yang menyurutkan asa. Aku ingin menuliskan pengalaman yang kuanggap menarik dan siapa tahu berhikmah selama nyaris tujuh belas bulan merasakan jadi keluarga yang terimbas pandemik. 

Hal utama yang perlu disyukuri saat ini adalah, dengan adanya pandemik, kita jadi bersama di rumah, dan mulai terbiasa untuk mesyukuri yang selama ini tak dirasakan. 
Apa itu? Kalau aku pribadi, adalah sholat berjemaah. Ada sesekali sholat berjemaah dulu sebelum pandemik menerpa, yakni saat ayahnya anak-anak bisa pulang lebih cepat dari kantor, atau saat bulan Ramadhan, atau kala akhir Minggu dan kami tak kemana-kemana.

Sekarang ini, nyaris selalu bisa sholat berjemaah empat atau lima waktu sehari, terutama setelah ke mesjid sering dilarang, jika angka kenaikan kasus covid meningkat di kawasan rumahku. 

Kondisi ini, berhasil aku dan suami manfaatkan, untuk membiasakan anak-anak, terutama anak kami yang kedua yang berkebutuhan khusus untuk lebih mengenal agamanya, melalui belajar mengaji dan sholat. Dari yang tadinya tak tahu, hingga akhirya merasa cukup nyaman mengaji dan belajar sholat, dirasakan oleh Aam. Ya, ini prestasi, karena sebelumnya, aku nyaris mengira tak ada harapan untuk mengenalkan agama pada anakku yang gifted child ini. Sering sekali perdebatan soal sesuatu yang bersifat dogma ini muncul di kepalanya yang selalu bersikap logis. 

Alhamdulillah, meskipun masih terus berjuang hingga detik ini terkait ibadahnya, kami bisa dengan bahagia, terutama jika membandingkan dengan masa dua tahun lalu, bahwa betapa banyak perkembangan Aam terkait mengenal ibadah ini yang kami saksikan. 

Memang, selama adaptasi atas WFH atas Kerja dari Rumah, hingga SFH atau Pendidikan Jarak Jauh (PJJ), aku mengalami fase naik turun. Apalagi, aku juga beradaptasi dengan anak bayi yang kuurus sendiri tanpa bantuan siapapun. Jangan tanya soal sakit pinggang atau sakit luka jahitan. Namun, kenyataan lain, bisa jadi aku juga membuat luka pengasuhan pada Billa dan Aam di awal PJJ, akibat sikapku sendiri berharap semuanya akan ideal. Aam bisa jadi akan tetap masuk top five di kelasnya, Billa bisa jadi akan lulus dengan nilai yang tidak sekedar lulus belaka. 

Namun, faktanya, enam bulan pertama adalah ujian yang teramat sangat. Meskipun urusanku dengan sekolah baru Billa jika dia lulus SD, sudah selesai dan jelas, namun lagi-lagi menghadapi Aam adalah yang terberat. Aku sering sekali marah dan membuat Aam menangis. 

Hal ini terjadi berlarut-larut dalam hitungan beberapa bulan, hingga akhirnya aku menyadari, tidak saja aku yang stress (dan ini bahaya bagi ibu menyusui, karena dapat menurunkan kuantitas dan kualitas asi), tapi Aam juga terluka atas sikapku. Dengan Billa, aku juga menghadapi cobaan ala abegeh. Tapi. untungnya tidak sesulit aku menghadapi Aam.

Akhirnya, berjuang dan berusaha membuat pikiranku lebih tenang, menurunkan target serta harapan, berpikir yang penting anak-anak nyaman dan bahagia di rumah selama pandemik, membuatku menjadi mengalah dan mencoba mundur teratur menyusun strategi baru. 

Aku mengalah dalam urusan nilai anak-anak. Aku cukup menargetkan mereka bisa naik kelas. Aku juga belajar untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan fatal yang terjadi tanpa pernah kusadari. Tak mudah, tapi perlahan bisa. 

Demikianlah, akhirnya dengan bermodal bolak balik mengoreksi diri, membicarakannya pada suami dan Mama yang selama pandemik tinggal denganku, mengajak anak-anak membuka diri lebih sering, serta belajar mempercayai mereka saat PJJ tanpa sibuk bolak balik menjadi detektif atau polisi pendidikan, aku berusaha mencoba ikhtiar soal PJJ tanpa harus sering marah-marah lagi.

Berhasilkah? Tidak 100 persen. Tapi emang tidak mudah mengubah kebiasaan sekolah biasa dengan sekolah daring beginikan?

Yang pasti, ada hal-hal yang patut kusyukuri juga, seperti Aam yang pernah menang lomba foto Ramadhan, serta lomba menulis tentang pandemik. Dia cukup konsen urusan corona ini. Sehingga saat ada lomba menulis tentang hal ini, dia menuliskannya dengan penuh semangat, dan masuk terbaik di sekolahnya. 

Billa pun demikian. Di awal sekolah, aku berjibaku banget menghadapi karakter introvert dan pendiamnya dia. Aku tidak tahu kapan dia punya masalah atau tidak. Proses adaptasi kami memang cukup alot. Namun, akhirnya, Billa bersedia sedikit membuka diri. Kebiasaan yang kubuat selama beberapa waktu terakhir ini, yakni membacakan buku sebelum tidur, membantuku menjadi dekat dengan Billa dan Aam. Apalagi sejak adik mereka lahir, perhatianku benar-benar terpecah. 

Untuk urusan sekolah Billa, aku juga pasrah, selama Billa bisa naik kelas, itu sudah cukup. Toh nilai tertentu seperti coding, bahasa Inggris dan beberapa nilai lain diraihnya dengan di atas rata-rata, meskipun separuh lainnnya dia berjuang untuk bisa lulus KKM saja. 

Billa juga pernah menang dalam lomba menghias mie goreng yang diadakan kelasnya. Dia cukup percaya diri gara-gara itu. Dia juga kuikutkan lomba komik, meskipun tak menang, serta ikut kelas belajar komik. Hal yang siapa tau bisa membuatnya yakin jika dirinya punya kemampuan. 

Semua itu bisa terjadi, karena dilakukan online. Sebagai anak yang introvert, belajar online menyenangkan baginya ternyata. 

Dengan mencoba melihat sisi positif dari ujian pandemik ini, kukira, mood dan motivasi untuk terus menjaga diri dan keluarga dari segi kesehatan, bisa naik lagi. Kita bisa jadi sudah sangat jenuh dengan kondisi  yang ada, tapi jika melihat tujuh belas bulan belakangan ini, ada banyak hal baik yang berhasil kita capai dan lalui, maka itu bisa jadi berarti, kita akan bisa juga menghadapi beberapa waktu ke depan, hingga pandemik ini berakhir. 

InsyaAllah. Karena hanya pada mereka yang senang bersyukur atas hal kecil hingga besarlah, yang bisa mengarungi badai corona ini hingga kelak berlalu. Hanya pada mereka yang berusaha melihat sisi positif dari ancaman kesehatan yang ada, bisa jadi akan berhasil menjadi orang-orang tangguh di masa depan.

Siapa tahu, kita adalah mereka. Para ibu tangguh yang menjadi semakin super tangguh, setelah pandemik ini berakhir. Amiiin. 

#pulihhati
#challengemenulisvol2
#pelukuntukperempuan
#kutuliskulepas


Punya Bayi, Tapi Tetap Bisa Menulis? Kog Bisa?



Sudah Susah Hamil dan Dilarang Juga. 

Sebenarnya, aku merasa gejala pre-menopause saat usiaku 45 tahun. Aku merasakan sekali banyak gejala yang mirip dengan menjelang menopause. Aku nggak heran, jika memang aku harus mengalami menopause lebih dini dari perempuan lain. Karena sebagai  perempuan suspect pco alias susah punya anak karena sel telur yang sulit matang, serta punya keturunan diabetes, kemungkinan untuk menopause cepat adalah hal yang mungkin terjadi. 

Aku sempat pergi ke dokter Yuslam di RSPI dan konsultasi. Beliau hanya menyarankan aku untuk lebih relaks menjalani semuanya. Gak ada obat khusus yang diberikan. Hanya diminta olahraga secukupnya dan ya diterima aja kondisi ini.

Baiklah.

Aku kemudian iseng nanya ke dokter yang memang menangani kasus infertilitas pada banyak pasiennya itu. "Dok, kalau aku hamil lagi, masih mungkin gak?"

Dokter Yuslam tertawa dan bilang, "Lho, sudah punya dua orang anak toh, Bu. Gak usah hamil lagi, usianya sudah rawan. Lagipula, bisa jadi Ibu masih suspect PCO, apa ibu mau terapi lagi? Ah gak usah aja, ya. Tidak aman." Demikian kira-kira yang dikatakan beliau saat itu. Lalu beliau memintaku  untuk diperiksa kondisi sel telurku. 

Benar saja, aku memang masih suspect PCO, karena dari layar komputer terlihat banyak sel telurku dan kecil-kecil. Aku hanya bisa tersenyum masam. Sebenarnya niat pengen punya momongan itu sangat kuat waktu usiaku sekitar 39-40, tak lama setelah Aam lahir. Pengen deh rasanya punya anak tiga orang. Ganjilkan disukai Allah. Hehehe

Aku sebenarnya punya tiga anak, satu orang sudah dipanggil Allah. Kembarannya Kak Billa. Jadi rasanya kalau nambah satu lagi, pasti menyenangkan. Singkat cerita, aku memang harus menghadapi kenyataan bahwa pre menopause sudah hadir. Jadi lupakan punya anak lagi. Mama juga keberatan aku hamil lagi. Usia rawan gitu. Saat hamil pertama saja, usiaku sudah 34 tahun, yang kedua udah 38 tahun. Keduanya mengalami kehamilan yang tidak serta merta menyenangkan atau lancar. 

Baikah, kuputuskan untuk menerima kenyataan ini. Alhamdulillah sudah ada Kak Billa dan Aam yang menjadi penyejuk hati dan pelipur lara. 

Berita Menyenangkan Yang Lengkap Dengan Konsekwensinya

Aku kemudian asyik menulis dan mengajar menulis. Aku bahkan berniat mendaftarkan diri ke UT untuk ambil kuliah S2 pendidikan bahasa. Aku juga sambil nyari info S3 di UI untuk sastra. Kuniatkan, karena anak-anak beranjak besar, maka aku akan sekolah lagi, menulis dengan serius dan menggali ilmu sebagai guru atau mentor semaksimal mungkin.

Rencana adalah milik manusia, tapi Allah yang punya kuasa menetapkannya. Saat itu aku baru saja berniat untuk ke UT, karena sudah mulai masuk jadwal penerimaan. Sayangnya, aku belum sempat ke sana, karena sering pusing. Tau-tau aku baru ngeh, haidku terlambat. Namun, bisa jadi ini gejala pre menapause, pikirku. 

Kekhawatiran tetap muncul, karena aku merasa tak nyaman dengan tubuhku. Akhirnya tanggal 17 Juli 2019, dini hari, aku mencoba test pack. Rasanya antara mau pingsan, terharu dan gak paham bagaimana bisa, karena ada dua garis di sana. Aku yang masih suspect pco, sedang pre menopause dan usia memasuki 45,5 tahun, ternyata hamil lagi.

Sungguh ini berita yang sangat menggemparkan dan menyenangkan, sekaligus memberikan konsekwensi yang besar. Salah satunya, adalah harus siap menghadapi resiko kehamilan bagi usia tua dan juga, satu lagi. Aku membatalkan semua harapanku untuk sekolah lagi. 

Singkat cerita, harapanku lenyap. Apalagi aku punya pengalaman juga, selama kelahiran Billa dan Aam, aku harus semedi dan menghilang dulu dari dunia kepenulisan beberapa waktu, karena beradaptasi dan fokus pada mendidik anak di dua tahun pertamanya. Ini artinya, kesukaanku menulis dan mengajar akan hilang. Aku sempat merasa sedih yang cukup dalam, namun tak lama. Aku tahu, Allah itu Maha Bijaksana. Dia memberikan semua ini, pasti karena aku dianggapnya mampu menjalani semuaini dan juga, dipastikan, aku harusnya belum sekolah dulu. Memupuskan harapan sekolah adalah pilihanku setelah aku positif hamil. Konsekwensi tak bisa leluasa menulis harus kujalanin. 

Tapi, ternyata, bersikap positif thinking selama kehamilan, memberikan kondisi yang berbeda. Aku merasakan kehamilan kali ini, lebih tenang, lebih sabar dan lebih termotivasi untuk menjadi lebih baik. 

Punya Bayi Ternyata Masih Bisa Menulis

Akhirnya kujalani kehamilanku dengan penuh kepasrahan. Ke dokter lebih sering, pengetesan laboratorium lebih banyak dari ibu hamil lainnya, istirahat karena lelah yang teramat sangat menggelung diri kuterima dengan ikhlas. Boleh dibilang, empat bulan pertama, aku jadi manusia rebahan kelas wahid. Apalagi aku pernah sok-sokan kuat, tau2 ngeflek dan kontraksi terjadi. Aku sempat nangis sejadi-jadinya, khawatir ada apa-apa dengan kandunganku yang baru berusia  16 minggu waktu itu. 

Akhirnya, kupilih bedrest selama tiga hari. Berdiri hanya karena harus buang air besar dan kecil saja. Sholatpun tidur. tidak mandi, hanya dilap badan sama suami. 

Alhamdulillah, akhirnya kondisi membaik. Setelah terlewati fase morning sickness yang tak seberapa berat, hanya saja aku nggak punya tenaga untuk bergerak bebas, karena keletihan teramat sangat serta sering menggigil karena perubahan hormonal yang tak keruan, akhirnya aku bisa juga nyetir dengan nyaman saat nganter anak sekolah.

Tapi, lucunya, nyaris setiap hari, aku menulis status di media sosialku tentang banyak hal. Aku baru bercerita jika aku sedang hamil, saat kandunganku telah berusia di atas 25 minggu. 

Aku pun kembali aktif mengajar menulis secara offline. Meskipun suami yang anter jemput, dan aku selesai sharing biasanya tepar dua hari, tapi aku sukaaa sekali melakukan semuanya itu. Menulis dan mengajar itu menjadi hal yang rutin kulakukan selama hamil. 

Puncaknya, setelah aku melahirkan, bahkan saat menjelang melahirkan dan beberapa jam setelah melahirkan, aku masih berhasil menulis diary di media sosialku, baik FB maupun IG.

Tak lama setelah melahirkan Baby Oki, aku mencoba beradaptasi dulu dengan rasa sakit bekas operasi caesar. Sembari juga memotivasi diri, untuk terus membaca buku, dan menulis ikut beberapa lomba menulis. Aku menggunakan ponsel untuk menulis, lalu kirim ke email untuk diunduh ke laptop dan diedit di word. 

Kusiasati semuanya. 
Aku memang punya asisten rumah tangga beberapa jam di rumah. Sehingga aku punya waktu banyak untuk bayiku dan juga menulis. 
Aku bahkan ikut beberapa kelas online, karena sejak lahirnya Oki, bertepatan dengan mulainya pandemik dan PJJ serta WFH dimulai. 
Aku juga rajin ngajar beberapa kelas online. 
Kunikmati sekali. 
Aku juga masak seadanya, kadang katering atau beli lauk jadi. 

Setiap waktu luang, meksipun hanya 30 menit sehari, kugunakan untuk menulis status, melanjutkan naskah, mengajar kelas menulis, sharing di komunitas dan lainnya. Pokoknya, buatku meski hanya 30 menit, tetap bisa berliterasi di rumah.

Cara lain adalah meminta bantuan dan support dari suami dan anak-anak yang lebih besar. Saat aku harus sharing, maka mereka yang menjaga Oki. Hanya dua atau tiga jam saja. 

Aku juga berkorban mengurangi waktu tidurku satu atau dua jam, untuk semangat menulis naskah. Aku bahkan sempat bisa ikut lomba novel anak meskipun tak menang, dan saat ini naskahnya sedang di penerbit mayor lainnya (semoga tahun depan bisa lahiran novel di penerbit itu... amin). 

Akhirnya dengan motivasi yang kuat untuk selalu bisa menulis, apapun yang terjadi, maka pengalaman semedi yang terjadi saat lahiran Billa dan Aam, tidak terjadi. Aku malah semakin senang menulis meskipun hanya 30 menit atau satu jam perhari. Aku juga jadi sering isi acara kepenulisan, ataupun jadi peserta dan panitia kegiatan.

Pada akhirnya, kupikir, punya bayi dan ingin tetap bisa menulis itu memang membutuhkan bantuan banyak pihak, baik suami, anak hingga asisten rumah tangga. Selain itu, motivasi untuk terus senang dan bergembira di dunia literasi itu penting, tidak saja ibu menyusui yang bahagia akan memberikan asi yang banyak, tapi juga melakukan hal yang menyenangkan batin, akan menjadi hal yang membuat kita kembali bangkit untuk memupuk harapan lagi. 

Aku tahu, tidak dalam waktu dekat, cita-citaku sekolah lagi akan terwujud. Aku juga paham, jika usiaku sudah tak muda lagi, apalagi rasanya punggung ini mau patah karena harus mengurus bayi sendiri tanpa bantuan baby sitter. Namun, ini semua akan sementara. Ada kalanya si Bayi ini akan besar dan bisa ditinggal bersekolah lagi oleh Ibunya, InsyaAllah. 

Jadi, beradaptasi itu tidak harus melupakan harapan. Beradaptasi bisa jadi berkorban sedikit untuk hal yang kita sukai. Aku percaya, meskipun ada bayi, atau anak banyak, jika memang suka menulis dan berniat sekolah, dua hal itu akan tetap terwujud. Bisa jadi memang bukan sekarang, tapi nanti, saat Allah menentukan waktu terbaik untuk kita. 

Jadi, tetap semangat ya bumil, busui dan ibu batita, dalam hal menata hati menempa mimpi. InsyaAllah akan terwujud pada waktunya. Amiiin 



#pulihhati
#challengemenulisvol2
#pelukuntukperempuan
#kutuliskulepas

Jun 25, 2021

Hikmah Mengenalkan Literasi Sejak Dini Pada Anak









Monkey see, monkey do
Itu adalah prinsip paling mendasar jika ingin mendidik anak-anak terhadap satu kebiasaan. Jadi, apapun yang kita lakukan sebagai orang tua di hadapan anak, maka kelak kegiatan itulah yang akan diingat oleh anak-anak. Karena itulah, jika ditanya trik pertama mengenalkan literasi pada anak adalah si Orang tuanya yang melakukan kegiatan terkait berliterasi di dekat anak-anak. Apapun bentuk dan caranya, maka hal demikian akan ditiru oleh anak-anak. 

Beberapa cara yang selama ini kulakukan untuk mengenalkan literasi pada anak-anak, di antaranya:

1. Sejak anak dalam kandungan, aku sudah membacakan nyaring untuk mereka. Gak ada keharusan bacaan apa yang kuberikan, selain mengaji Quran, tentunya. Saat kehamilan pertamaku, maka hampir setiap hari dan setiap menjelang tidur malam, kubacakan buku cerita ke bayi kembar dalam kandungan. Waktu itu aku suka sekali membacakan kumpulan cerita klasik negara-negara di Asia, juga beberapa pictoral book yang menarik. Aku menggunakan suara yang cukup nyaring, karena memang hanya ada aku dan bayi dalam kandungan saja di rumah. Suami sering tugas ke offshore kala itu. Seru sekaligus menghibur hati juga, karena hanya aku sendirian dengan janin-janin dalam kandungan.

2. Saat kehamilan kedua, aku malah asyik banget menulis. Tak sekedar membaca buku saja, tapi juga menulis. Nyaris sejak hamil, hingga menjelang melahirkan, aku ketak-ketik laptop dan juga membaca banyak buku referensi. Sesekali tentu aku membacakan nyaring kepada si baby dalam kandungan. 

3. Kala kehamilanku yang ketiga, aku tidak saja asyik membacakan buku dan menulis, namun juga banyak mengajar dan sharing kepenulisan. Entah kenapa, meskipun usiaku sudah rawan untuk hamil, dan sangat merasakan kelelahan yang teramat sangat saat hamil ketiga itu, tetapi setiap kali aku sharing dan mengajar online ataupun offline, aku semangat sekali dan tidak merasakan keletihan sedikitpun. Namun, setelah selesai kegiatan, aku butuh dua hingga tiga hari untuk mencharging energiku kembali. Biasanya aku tepar di atas tempat tidur dan bed rest. 

Setelah anak-anak lahir, maka istilah monkey see monkey do, berlaku. Apapun yang kita lakukan, itulah yang dilakukan oleh anak-anak.

Ada beberapa kegiatan yang kulakukan saat anak baru satu, sudah dua dan akhirnya tiga orang di rumah. Di antaranya, aku suka sekali membacakan buku untuk mereka. Selama mereka batita, pilihan bukunya adalah soft book kayak buku kain, juga board book dan buku dengan kertas yang tak mudah sobek. 

Setelah anak-anak mulai mengenal sekolah dan gadget, maka moment membacakan buku pindah di saat menjelang tidur. Meskipun hanya 10 hingga 30 menit, hingga hari ini, aku masih rajin membacakan buku untuk putriku yang sudah kelas 8, juga putraku yang duduk di kelas 4, termasuk bungsuku yang baru berusia 1.5 tahun. 

Selain memiliki perpustakaan, aku juga membuat pojok baca. Awalnya ada di perpustakaan keluarga, namun karena fokus di perpustakaan sejak pandemik menjadi pusat belajar jarak jauh atau sekolah daring, maka pojok baca untuk anakku yang kecil, kupindahkan ke kamar utama, karena putri bungsuku masih tidur bersama aku dan suami. 


Jika sudah melakukan banyak stimulasi literasi pada anak dari dalam kandungan hingga detik ini, adakah hikmah yang dirasakan terhadap mereka? InsyaAllah ada banget. 

Untuk putri sulungku, meskipun membaca buku bukan hobby utamanya, namun kebiasaannya membuat picbook sendiri dan animasi sangat didukung oleh pola pikir cara membuat cerita. Kebiasaan dibacakan buku, membuatnya sudah paham bagaimana memulai cerita, isi cerita hingga akhir cerita. Hal ini menarik buatku, karena aku nggak pernah mengajarinya secara khusus. Sepertinya, kebiasaan membacakan buku-buku berillustrasi saat kecil dulu, mempengaruhi cara berpikirnya saat menggambar sebagai satu hal yang disukainya sejak kecil. 

Sementara, untuk putraku, dimana selama kehamilannya aku sangat suka menulis, entah bagaimana efeknya, yang pasti, dia bisa membaca dan menulis sendiri tanpa harus sulit diajari. Jika kakaknya usia 6,5 tahun baru bisa lancar membaca, itupun ada masalah juga dengan preposisi visualnya, sebaliknya, putraku malah sudah bisa membaca dan menulis di usia 3,5 tahun. Sepertinya, efek membaca dan menulis yang kulakukan selama dia ada di kandungan, terasa sekali. 

Terakhir, untuk putri kecilku, saat ini sangat suka dibacakan buku. Satu buku bisa dibaca dua sampai tiga kali, dan dia biasanya meminta dibacakan sedikitnya tiga hingga tujuh buku sekali baca. Hehehe. Putriku pun sudah terbiasa melihat aku menulis dan mencoret-coret kertas untuk membuat draft naskah. Sehingga kebiasaan ini membuatnya mengerti bahwa itulah pekerjaan ibunya. Dia nyaris tak pernah mengganggu secara khusus jika dilihatnya aku mengetik. Sering kali, jika aku mengetik, maka dia akan mengambil buku dan membuka-buka sendiri buku tersebut sampai bosan, baru kemudian minta pangku sekedar ikut menyoret kertas yang ada di hadapan kami. 

Hal utama yang mungkin patut untuk diperhatikan bagi banyak orang tua muda di luar sana, bahwa membacakan buku haruslah menyenangkan. Tidak dipaksa dan tidak perlu sampai membuat si anak merasa membaca adalah hukuman. Aku pribadi, termasuk yang memberi keleluasaan bagi anak saat memilih buku. 

Putriku suka buku komik dan animasi, tak masalah buatku. Jadi, aku membelikan buku-buku yang lebih banyak gambarnya. Meskipun usianya sudah abegeh, tapi jika membaca buku berillustrasi untuknya lebih nyaman daripada novel, maka tak kupaksakan. Aku menempatkan satu lemari buku di kamarnya, belum terlalu diliriknya, karena sebagian besar adalah novel. Namun, tak jarang, jika dia sedang ingin membaca buku (kecenderungannya adalah memilih buku bahasa Inggris) maka dia akan membaca buku tersebut hingga selesai. Tak ada patokan berapa lama dia menamatkannya. Buatku, kala dia bersedia membaca tanpa dipaksa saja, sudah lebih baik. Karena godaan gadget saat ini sangat besar. Bisa jadi dia menggambar di tabnya, dan mencari referensi tidak saja di internet, namun juga dari buku-buku berillustrasi yang dibacanya.

Putraku penggemar buku-buku non fiksi, terutama terkait peta, negara dan sejarah. Jadi buku-buku berbahasa Inggris terkait tiga hal tersebut lumayan menjadi koleksinya. Namun, aku juga mengenalkan dunia bacaan lain, terutama hal-hal yang sering ditanyakannya seputar agama dan kehidupan. Maka aku lakukan kegiatan membacakan buku satu sampai tiga bab sebelum tidur. Kadang didengarkannya dan didiskusikan. Tak jarang menjadi dongeng pengantar tidur, alias setelah mendengar kubacakan buku, dia tertidur pulas. Hehehe. Tak masalah, karena di bawah sadarnya, aku percaya, dia menyukai buku yang aku bacakan untuknya. 

Untuk putri bungsuku,  karena masih batita, aku mengenalkan lebih banyak buku-buku yang tak mudah sobek, tulisan sedikit dan gambar yang berwarna-warni. Aku lakukan kapan saja jika si anak mau. Saat bangun tidur, siang hari, sore hari, malam hari bahkan menjelang tidur sekalipun. Tak ada waktu khusus. Selama dia menyukai buku, selama itu juga aku akan mendampinginya.

Kuncinya memang satu. Monkey see monkey do.

Orang tuanya harus suka membaca, menulis dan melakukan kegiatan literasi tak jauh dari si anak. Ujian dan tantangan kita menghadapi generasi digital adalah bagaimana membuat mereka menyintai literasi tanpa paksaan. Ini berat, tapi bisa dilakukan. Meskipun kita membuka gadget di depan mereka, pastikan mereka tahu kita sedang bekerja, sekolah dan menulis serta membaca. Buku tak selamanya harus berupa kertas belaka. Ada buku eletronik yang bisa dikenalkan. Jangan berkecil hati dengan perbedaan kondisi dunia buku dulu (era orang tua seperti kita) dengan anak-anak sekarang ini. Selama pemahaman kita tentang literasi sebagai sarana mencerdaskan anak-anak melalui bacaan dan tulisan, maka konsep yang sama, meski tool atau alat yang berbeda, akan tetap membuat kita sampai pada tujuan, membuat anak-anak suka literasi dan mencerdaskan mereka sejak dini. 

*Pamulang, 25 Juni 2021



 

Feb 26, 2021

Sabar adalah Koentji


26 September 2016.
4 Tahun lalu. 


Pagi ini adalah drama buatku dan Aam. 
Proses dia mau keluar dr mobil saat tiba di parkiran sekolah adalah ujian kesabaran buatku.

Setelah 40 hari lebih ijin tidak masuk sekolah.... berdasarkan pertimbangan karakter Aam selama ini, memang kuputuskan selama aku ke tanah suci adalah lebih mudah bagi para sodaraku untuk mengasuh Aam, jika ia di rumah. Karena pergi sekolah bagi Aam adalah drama.

Maka....,hari ini adalah hari pertama Aam kembali ke sekolah.

"I don't like school" menjadi statement awalnya.

Saat kukatakan "there will be a playground in school." Maka jawaban Aam... "no... play ground is in Giant and Aeon.".

Bahkan saat kusuruh masuk mobil saat mengantarnya tadi, ia masih sempat bilang "let's go to teraland at giant." Kala kutanya "what?"

Dengan sigap ia mengurai alphabet dari kata tersebut sambil membentuk huruf dgn jemari mungilnya.

"T... E...R...A...L...A...N...D" (Dia mengucapkan dgn gaya alphabet dlm bahasa Inggris). 

Aku tersenyum miris. Kubilang "at this time...that playground ia closed. We go to alsyukro playground."

Dan drama terus berlangsung alot. Kugendong Aam dan melangkah ke sekolah. Jeritan2 tak sukanya membahana dan menarik perhatian segenap orang di sana.

Ini ujian penebalan mental dan muka buatku.

Kubawa terus Aam sampai ke halaman TK. Dan Aam masih menangis sampai kuberikan teh kotak kesukaannya. Lalu ia diam dan minum.

Satu demi satu anak2 TK datang. Kulihat Aam mulai menunjukkan sikap melunak. Tak ada jeritan. Ia juga mulai bersedia salaman dgn beberapa guru TK.

Bbrp belas menit kemudian saat kuajak main di playground sekolah....meski menarik bajuku...namun Aam tertarik bermain.

Aku pribadi harus kreatif berupaya berbicara dgn menggunakan kondisi sekitar sambil melibatkan hurud dan angka dalam upaya menarik perhatian Aam.

"Look all the hanging letter there Aam!". Ini saat menunjukkan jendela dan langit2 sekolah.

"Let's counting our step. Step one... step two...step three...." ini sambil mendekati pintu kelas.

dan seterusnya. Sampai Aam tertarik masuk kelas. Sekalian mendapat reward bermain dfn sekaleng alphabet bersama wali kelasnya.

Aam memang berbeda. Ia tak mau bergabung dgn anak2 TK lainnya. Ia mengajak bicara temen2nya dalam bahasa Inggris. Dan ujian lainnya adalah para guru yg tak semua bisa berbahasa Inggris.

Satu sisi seharusnya aku mencari sekolah dgn English sebagai bahasa pengantar.  Di sisi lain aku mencari sekolah dengan pengenalan agama islam sejak dini.

Tak semua sekolah mau menerima gifted child seperti Aam. Aku bersyukur Al syukro tak keberatan menerima Aam. Jika kucuba sekolah lain... belum tentu mrk tertarik dgn kondisi Aam. Bahkan jikapun ada sekolah bilingual yg tertarik. Belum tentu ada pengenalan agama islamnya.

Terus terang ini PR besar buatku. Sepertinya fokusku pada Aam akan mempengaruhi fokus di dunia menulisku. *sambil melirik tumpukan ide di dekat komputer.

Sekarang siap2 mau jemput Aam sekolah. 

We will see what happen then... 😎😎

#diarybunda
#giftedchild
#mykriwilAam

Sep 15, 2020

Ngakalin Anak Yang Lagi GTM



Menjadi orang tua, salah satu tantangan yang cukup berat adalah saat si anak kecil dengan kelakuan bossy ini melakukan GMT alias Gerakan Tutup Mulut.

Anakku empat orang. Salah satunya sudah dipanggil Allah di usia kandungan 29 minggu. Alhamdulillah, tiga lainnya dititipkan Allah dengan segenap perbedaan yang dimiliki oleh mereka.  Putri sulung dan putra tengahku waktu kecil atau balita demen banget melakukan GTM. 

Ada fase-fase dimana mereka senang banget makan. Tapi ada fase juga dimana mereka makan hanya sedikit atau bahkan mempermainkan makanan mereka.

Putriku yang sulung, sudah melewati fase ini. Namun saat ia dalam kondisi GTM di usianya menjelang 5 tahun.... ya Allah, rasanya aku benar-benar dalam ujian berat.

Aku pernah sampai menelpon ibuku di Palembang, dan menangis memikirkan kesehatan putriku, karena ia tak mau makan. Benar-benar tak mau. Minum susu tak mau dan aku sampai titik puncak kesabaran, hingga meledak menangis di telepon.

Ibuku lalu bilang, "Kamu dulu juga gitu. Sabar aja. Dikasih aja dulu makanan kesukaannya. Nanti lewat juga kog fase tak nyaman ini."

Rasa khawatir akan kesehatannya tersebut, membawaku konsultasi dengan dokter anak. 

Beliau akhirnya bilang, "kita pantau saja, apakah meski dalam kondisi GTM anaknya tetap happy atau nggak. Jika anaknya ceria, minum air putihnya cukup, juga masih senang ngemil atau ada asupan makanan yang masuk, meski sedikit, ya jangan terlalu khawatir. Yang penting anaknya ceria, tetap beraktivitas fisik dengan senang."

Kuperhatikan, apakah Billa, putriku demikian adanya? Alhamdulillah memang iya. Dia memang makannya sedikit, tapi aku tetap rajin meminta dan memberinya minum sesuai harusnya. Meskipun tidak mudah juga. Billa juga aktif, ceria dan terlihat bahagia dalam setiap aktivitasnya. 

Kekhawatiranku soal GTM nya ini berakhir saat dia mulai kelas 3 SD, sudah kenal jajajan dan menyukai makanan berkuah dan tempe. Alhamdulillah, dia gak pernah lagi GTM. Meskipun, kalau dipikir-pikir, lama juga dia males makan.

Hikmahnya sih, dia nggak sulit diajarin puasa sama sekali. Bener-bener nggak menyulitkan. Dia suka puasa. Karena nggak repot makan minum. Hehehe. Usia 5 tahun, Billa sudah puasa full seharian, tanpa drama sama sekali. 

Ya, mungkin itu hikmahnya ya?

Saat ini, putriku sudah meranjak remaja. Khas remaja adalah bawaannya pengen jajan dan ngemil. Billa pun sudah senang makan, bisa sampe nambah nasi jika lauknya adalah makanan favorit dan tetap makan sepiring nasi, meskipun lauknya bukan favoritnya. 

Bagaimana dengan si Putra Tengahku? Aam ternyata ada juga masanya GTM. Tapi nggak selama dia batita. Di usia itu, semuanya yang ditawarkan dia makan. Dia belum bisa bicara sampai usia 3 tahun. Bisa jadi, karena itu juga, dia nggak pernah protes dengan makanan apapun yang kuberikan.

Aku sempat bahagia, saat Aam mau makan dengan sayur, buah dan protein seperti tahu dan ayam.
Minum susunya juga jago.

Sayangnya, masa menyenangkan itu berubah, saat Aam mulai bisa berbicara dan berkomunikasi. Dia mulai bisa menolak..

"No! I dont like it!" Menjadi kalimat favoritnya. Akhirnya diapun melakukan GTM pertama kali di atas usia 3.5 tahun.

Fiuuuh, untungnya dia nggak berlama-lama melakukan GTM terhadap susu. Ayam goreng masih mampu membuatnya tergoda untuk makan, meskipun sedikit. 
Sejak usianya 5 tahun, Aam nggak ngelakukan GTM lagi,  meskipun lauknya dia milih, telur, tempe, ayam dan mie menjadi pilihannya. Tak ada sayur dan buah lagi. Hiks.

Aku sempat mengeluhkan kondisi tersebut ke dokter anak langgangan. Jawaban beliau, "Selama anaknya happy, ya nggak masalah. Soal asupan vitamin, bisa diberi suplement vitamin untuk anak-anak. Toh selama ini pupnya lancar juga kan? Nggak pernah kholik atau apa?"

Aku mengangguk. Ya, memang Aam tetap ceria meski cenderung sangat aktif. Dan belum pernah ngalamin masalah dengan pencernaan secara khusus. 

Akhirnya, kupilih untuk memantau saja. Apakah anak-anak cukup asupan cairannya dan ceria/bahagia, aktif dengan kemampuan tumbuh kembang yang jelas? 

Meskipun, ternyata Aam adalah anak gifted atau tumbuh kembang yang disinkronisasi antara kecerdasan kognitif dengan verbalnya, namun secara fisik, Aam baik dan sehat.

Sekarang, bagaimana dengan si Putri Bungsuku? Usianya baru menjelang 7 bulan. Sejauh ini, belum terlihat gejala GTM sama sekali dengan MPASInya. Meski dia senang sekali menyemburkan makanan. Hehehe.

Ya, mudah-mudahan, jikapun ada fase GTMnya kelak, aku sudah punya cukup modal pengalaman berdasarkan kelakuan kakak dan abangnya. Prinsip dasar dari dokter akan kupegang. Yakni, cukup cairan tubuh, anaknya tetap ceria dan aktif, serta terlihat cerdas sesuai tumbuh kembangnya. 

Harapanku, jika berpegang pada prinsip dasar demikian, maka sebagai ibu, kita tidak panik, tidak terlalu khawatir yang berlebihan, kala anak memasuki fase GTM. 

Kecuali, jika akibat GTM tersebut anak terlihat lesu, males-malesan dan bawaannya ingin tidur aja serta mojok nggak jelas di sudut ruangan rumah. Apalagi, diikuti gejala klinis lainnya seperti demam atau muntah, maka langsung bawa ke dokter. GTM yang demikian bisa jadi terkait asupan cairan yang minim atau ada masalah dengan pencernaanya. 

Sebagai orang tua, memang menaikkan alarm kewaspadaan itu selalu wajib hukumnya. Termasuk terhadap GTM oleh anak. Boleh santai, tapi waspada. Yang penting, menjadi orang tua dari anak yg melakukan GTM adalah tidak boleh panik. Pengalamanku mengajarkan demikian.

#diarybunda 






Aug 2, 2020

“Miliki HaKI, Jangan mau diHAK-I”

(Gambar gak ada hubungan ama isi tulisan. Namun gaya peserta yang serius di workshop kepenulisan sehari ini, patut dijadikan contoh kewaspadaan atas hak kekayaan  intelektual yg harus dijaga, setelah naskah buku jadi dan terbit). 


Declare: Tulisan ini ditulis September 2012. 8 tahun lalu. Aku coba upload lagi di sini. Mudah-mudahan masih layak baca dan masih significant sama kondisi saat ini. 
****************

Banyak hal atau peristiwa yang kita peringati di bulan April. Selain kebiasaan diadakannya April Mop oleh sebagian orang di negara barat sana, juga ada 21 April sebagai hari Kartini di Indonesia. Namun mungkin tidak banyak pihak yang mengetahui bahwa tanggal 26 April, setiap tahunnya diperingati sebagai Hari HKI seDunia.

Pertanyaan besarnya bukan mengapa tidak banyak pihak yang tahu bahwa tanggal 26 April adalah hari HKI sedunia, tapi justru di saat ini sudah jamak diketahui bahwa tidak banyak orang yang tahu, ataupun mengerti apa itu HKI. Jangankan masyarakat umum, di kalangan kaum pendidik di universitas bahkan di kalangan para penegak hukum pun, banyak yang tidak tahu HKI, kurang tahu atau yang paling berbahaya adalah kalaupun tahu, tapi tidak ambil perduli.

HKI sendiri merupakan singkatan dari Hak Kekayaan Intelektual. Beberapa tahun yang lalu, sebelum ditegaskan istilah tersebut dalam undang-undang, banyak kalangan yang menyebutnya dengan Hak Milik Intelektual. HKI sendiri agak sulit untuk didefinisikan, namun secara garis besar, HKI merupakan suatu hak kekayaan yang timbul dari suatu ide atau hasil intelektual seseorang yang kemudian berujud sesuatu di bidang ilmu pengetahuan, tehnologi, seni, sastra, merek dan lain sebagainya yang dapat dinikmati oleh banyak pihak .    

Artinya jika kita berhasil menciptakan suatu karya di bidang seni, seperti lagu, maka akan dilindungi oleh Hak Cipta, sebagai bagian dari HKI. Kemudian, jika kita menciptakan suatu karya tehnologi yang belum pernah dibuat oleh pihak lain, maka dapat dilindungi oleh Hak Paten, yang juga bagian dari HKI. Begitu juga merek dagang, desain suatu barang, resep suatu makanan yang menjadi rahasia dagang, bahkan varietas suatu tanaman pun telah dilindungi melalui HKI.

Perlindungan HKI di Indonesia mengalami cukup banyak pasang surut, dan beberapa kali terjadi pergantian undang-undang. Namun nama Indonesia cukup menarik perhatian dunia HKI secara internasional pertama kali di antaranya karena peristiwa pada bulan Desember 1985, dimana telah beredar kurang lebih 1,5 juta kaset bajakan di Indonesia yang berasal dari rekaman konser Live Aid untuk penggalangan dana bagi Afrika. Kondisi ini dikeluhkan oleh Bob Geldof selaku penggusung Live Aid Concert tersebut karena mereka mengalami kerugian 3 juta dollar AS dan akhirnya Bob Geldof berikut para artis pendukungnya mencela Indonesia atas bajakan tersebut. 

Setelah kejadian tersebut, selain Indonesia telah mempermalu diri sendiri (atau dapat pula dikategorikan telah dideskriditkan? tergantung sudut pandang kita dalam melihatnya) sekaligus membuka mata negara Amerika Serikat bahwa terdapat ruang yang besar untuk menggali lebih banyak lagi pemasukan devisa melalui HKI tersebut. Sehingga pada akhirnya Amerika Serikat membuat aturan yang terkait HKI dengan melakukan pengawasan perdagangan dengan negara lain, serta memberi suatu tindakan khusus terhadap negara mitra dagangnya, apabila melakukan pelanggaran HKI.

Indonesia sejak tahun 1995, hingga sekarang telah mondar-mandir berada dalam posisi teratas sebagai negara yang perlu diawasi dan diberi tindakan khusus dalam kaitannya dengan dunia perdagangan dan HKI. Data terakhir, menunjukkan masalah HKI Indonesia berada  dalam  Watch List milik Amerika Serikat . Hal ini mungkin perlu dikhawatirkan karena akan berdampak jelek bagi perekonomian negara Indonesia, serta mempersempit ruang gerak Indonesia dalam melakukan perdagangan dengan negara lain. (*aku belum cek.lagi ya. Apakah berbelas tahun kemudian, di tahun 2020 ini konsen terkait Watch List ini masih menempatkan Indonesia di posisi negara yg banyak melakukan pelanggaran HKI. Mungkin akan kuupdate info seputaran ini. Mengingat bentuk pelanggaranpun semakin bervariasi dan juga semakin canggih).

Namun, tidak hanya masalah Watch List milik Amerika Serikat yang perlu dikhawatirkan. Sikap Amerika Serikat dan beberapa negara maju yang sering kali menyalahgunakan HKI untuk mendapatkan keuntungan bagi negara mereka pun patut kita khawatirkan. Tidak satu atau dua kali, negara-negara maju tersebut mengklaim beberapa pengetahuan tradisional maupun kekayaan harta biologi atau alam dari suatu negara berkembang. Mereka umumnya menggunakan dalih harus menggunakan hak paten apabila hendak mendapatkan perlindungan. Sedangkan pengetahuan tradisional yang telah didapat dari secara turun temurun tentunya mengalami kesulitan untuk memenuhi persyaratan hak paten tersebut.

Negara-negara maju seperti Amerika Serikat termasuk yang enggan untuk ikut serta dalam Convention on Biological Diversity (CBD) karena dianggap menghambat perkembangan dan perlindungan terhadap hak paten. Padahal inti utama dari CBD adalah untuk memberikan pembagian manfaat yang merata atas penggunaan keanekaragaman hayati dan pengetahuan tradisional milik negara berkembang seperti IndonesiaIndonesia sendiri meskipun telah memiliki undang-undang yang memberi perlindungan terhadap pengetahuan tradisional (termasuk berbentuk folklore) yakni Pasal 10 UU no. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, namun masih sulit untuk dilaksanakan, mengingat tidak adanya peraturan pelaksananya. (Suatu hal yang klasik untuk dijadikan alasan akan mandulnya sebuah UU di negara Indonesia). (*info ini juga belum kuupdate. InsyaAllah segera kucek ulang).

Kita tentunya tidak berharap bahwa kasus “pohon neem” di India ataupun kasus “desain tradisional” di masyarakat Aborigin akan terjadi pada negara kita, meskipun bukan tidak mungkin, jika kita teliti lebih jauh, Indonesia mungkin saja telah “dibajak” pengetahuan tradisionalnya oleh pihak-pihak asing. Tidak hanya karena keteledoran kita, maka batik, tempe, bahkan sambal terasi ala Indonesia telah diklaim HKI nya oleh negara lain. Namun juga karena ke-tidaktahu-anlah yang paling menonjol sehingga seringkali setiap karya intelektual maupun kekayaan alam Indonesia tersebut pada akhirnya “dihak-i” oleh negara maju lainnya.

Oleh karenanya, diharapkan jangan sampai kekayaan alam Indonesia (seperti  pengetahuan tradisional) yang begitu besar memberi manfaat bagi masyarakat, terutama yang sering digunakan oleh masyarakat tradisional pada akhirnya diklaim melalui hak paten atau hak lain dalam HKI oleh negara maju. Apabila kita tidak waspada, bukan tidak mungkin, khasiat buah merah (yang saat tulisan ini dibuat 8 tahun lalu tengah beredar informasi dan khasiatnya secara meluas) yang telah lama dimanfaatkan oleh masyarakat Papua, akan diklaim haknya oleh negara asing.

Boleh jadi,  Indonesia terlalu terburu-buru (entah karena keinginan yang besar untuk menjadi bagian dari perkembangan globalisasi, atau karena desakan negara-negara maju seperti Amerika Serikat) menandatangani dan meratifikasi WTO melalui UU No. 7 Tahun 1994 mengenai pengesahan Agreement Establising The World Trade Organization, sehingga tidak memikirkan akibatnya bagi masyarakat Indonesia yang sebagian besar dijamin belum siap menghadapi akibat-akibat hukumnya.

Namun bukan penyesalan yang perlu dilakukan, akan tetapi sikap waspada dari masyarakat Indonesia, terutama yang telah memiliki pengetahuan tradisional serta kekayaan alam yang memungkinkan perlunya perlindungan HKI, kemudian upaya dari pemerintah untuk bisa menegaskan perlindungan HKI bagi pengetahuan tradisional secara mutlak, serta membuat peraturan pelaksananya, serta komunitas media massa harus lebih giat lagi memperkenalkan HKI bagi masyarakat luas.

Sehingga HKI mampu menjadi alat  bagi kesadaran masyarakat Indonesia untuk melindungi pengetahuan dan hasil intelektual mereka. Bukan HKI sebagai alat bagi negara-negara maju untuk mengHaK-I kekayaan intelektual yang seharusnya menjadi Hak Bangsa dan Negara Indonesia.

Jadi, waspadalah. Serangan pelanggaran HKI itu tidak saja dilakukan oleh manusia di Indonesia sendiri. Namun juga sudah ditargetkan oleh banyak negara lain yang gemar mengklaim dan meng-HAK-i kekayaan intelektual orang lain. 


Astagfirullah 

Aug 1, 2020

Seberapa Penting Ikut Kelas Menulis?

Apa sih kelas menulis itu?

Kalau kuingat-ingat, mungkin sudah puluhan kelas menulis yang kuikuti. Baik daring (dalam jaringan internet) maupung luring (luar jaringan interner).

Kelas menulis sendiri merupakan kelas yg di dalamnya ada mentor menulis, mentee atau murid dan admin atau pihak penyelenggara suatu kegiatan belajar menulis.

Bisa beragam genre dan berbagai cara, tema dan gaya pengajaran. Ada yg hanya satu tema tanpa output jd buku. Ada juga yg memakai kurikulum hingga lahir jadi sebuah tulisan bahkan buku.

Pertanyaannya, kenapa bisa sampai puluhan dan mengapa perlu ikut kelas menulis?

Aku jawab dulu pertanyaan mengapa perlu ikut kelas menulis, ya.

Alasanku antara lain:

1. Karena menulis naskah baik fiksi dan non fiksi itu punya kriteria dan syarat tertentu, maka aku harus mengenalnya lebih dekat. Cara yang paling efektif dan efisien buatku sebagai pendatang baru di dunia menulis pada tahun 2009 adalah, ikut kelas menulis. Dari sini aku bisa mengenal banyak kriteria kepenulisan sehingga paham, mana yang terlebih dahulu kucoba pelajari saat memulai menulis.

2. Membangkitkan semangat dan nuansa menulis itu penting. Semua itu bisa didapat saat kita ikut kelas menulis. Baik online maupun offline. Karena dengan demikian kita dapat mengenal teman-teman sesama penulis serta membangun networking yang kelak bermanfaat bagi kita penulis yang baru merintis. 

3. Memberikan banyak ilmu pengetahuan dari pihak-pihak yang mempraktekkannya. Jadi para praktisi itu tidak saja memberikan teori-teori kepenulisan, namun juga pengalaman mereka sebagai penulis sekaligus trik dan tips yg mereka terapkan saat menulis. Ini penting, karena semakin sering dan lama pengalaman kita menulis, maka semakin banyak kiat-kiat yg memudahkan penulis memulai tulisan hingga menerbitkannya. Hal ini akan didapatkan saat kita ikut kelas menulis.

Pertanyaan selanjutnya, kenapa sampai puluhan kelas menulis?

Sebetulnya, awalnya, aku hanya ikut kelas online atau daring. Namun lama kelamaan, masuk komunitas dan akhirnya malah dikenalkan dengan kelas menulis offline atau luring. Dan level keseruannya berbeda, meskipun targetnya tetap sama, yakni menulis tema atau genre tertentu. 

Aku ingat, pertama kali ikut kelas menulis itu, kelasnya mbak Ifa Avianty. Waktu itu modelnya belajar lewat email. Kisaran tahun 2007 kalau tidak salah. Aku mengenal beliau lewat platform Multiply.

Kelas ke dua dan  masih online adalah kelas Kang Iwok Abqary melalui platform Blogfam. Kami belajar melalui jalur group FB ya kalau tidak salah. Ini kisaran tahun 2009. Aku sudah punya momongan waktu itu. Dari kelas online ini, naskahku ada yg terbit di majalah Bobo berjudul Sayap Peri Elly dan ada yg terbit di kumcer terbitan Penerbit Talikata berjudul Rahasia Rumah Reyot.

Sejak itu, aku ikut banyak sekali kelas online. Mulai dari kelasnya Kang Ali Muakhir di Winner Class, kelasnya Teh Ary Nilandari, kelasnya mas Bambang Irwanto di Rumah Kurcaci Pos dan puluhan kelas lainnya, berbayar maupun gratisan. Sampai ikut kelasnya Tasaro di wag dan kelas menulis dari hati ala A Fuadi. Ini yang terbaru di tahun 2020. 

Nyaris kalau dihitung-hitung, lebih 40 kelas online yang kuikuti sejak 11 tahun terakhir. Kebanyakan sih, kelas menulis fiksi cerita genre anak-anak, hingga genre dewasa. Dari bentuk cerpen, hingga novel. 

Akupun suka ikut kelas offline atau luring serta workshop kepenulisan. 

Aku masih inget banget, ikutan workshop menulis sehari bareng Asma Nadia, juga pernah bareng Pena Lectura, tak lupa workshop bareng Triani Retno dan Bambang Trim. Ini adalah sebagian kelas offline berupa workshop yg kuikuti. Bang Asis, suamiku, berperan besar di sini. Karena dia bersedia menjaga Billa saat aku belajar di ruangan. Dia dan Billa menunggu di ruangan lain dan aku biasanya bolak-balik memberi ASI untuk Billa putri pertamaku. 

Yang paling mengesankan untuk karir menulisku di bidang novel anak adalah 2 kelas offline.

Satu kelas workshop First Novel kerjasama Tiga Serangkai dengan Komunitas FPBA. Aku lolos melahirkan 2 novel anak  serial Odie dari workshop pertama di Bandung 2010. 

Kemudian, aku ikut kelas offline dalam beberapa kali pertemuan, bersama kelas ajaibnya Bhai Benny R di Museum Mandiri. Dari kelas ini aku melahirkan 2 novel anak yakni The Cousins dan Gomawoyo Chef!

MasyaAllah, aku juga ikut dan lolos audisi Workshop Room To Read 2017 dan 2018 di Yogyakarta. Hingga lahirlah Pictoral Book pertamaku berjudul Tuing-Tuing dan Sihir Otir. 

Alhamdulillah, puluhan kelas online dan offline tersebut memberikan banyak sekali keuntungan buatku baik sebagai penulis pemula 11 tahun lalu, maupun menjadi mentor sekarang ini di kelas Permen (Program Menulis Novel (Anak) dan kelas Perca (Program Menulis Cerita (Pendek) Anak) sejak 5 tahun lalu.

Berikut ini, sedikit simpulan jika tertarik kelas online atau offline.

Jika memilih kelas online, maka keuntungannya adalah, menghemat waktu, terutama bagi ibu rumah tangga model saya. Nggak perlu ke luar rumah, hemar ongkos, cukup mantau dan konsen dari rumah sambil berhadapan dengan gadget atau laptop. 

Cenderung memiliki fleksibilitas waktu yg cukup. Sehingga bisa sambil mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Jeleknya sih, susah fokus sehingga sering kali pengetahuan yg didapat tidak 100 persen dipahami. Selain itu, semangat menulisnya lebih banyak datang dari diri sendiri. 

Atmospere semangat menulis tidak terlalu besar, meskipun tetap memberi pengaruh banyak bagi mood booster menulis.

Sementara itu, kelas menulis offline, membutuhkan effort lebih besar karena harus hadie secara fisik di lokasi dan mengikuti kegiatan seharian atau lebih dari 2 jam. Ini membutuhkan siasat waktu dan ijin pasangan jika kita emak-emak ya.  Karena harus meninggalkan pekerjaan maupun rumah tangga berikut isi keluarganya dalam beberapa waktu.

Kelebihan ikut kelas offline menurutku adalah lebih fokus dan cenderung bisa konsentrasi penuh saat mengikuti kelas karena diliat langsung. Selain itu athmospere dr belajar bersama itu membuat semakin semangat menulis karena tidak saja situasinya namun kesempatan diskusi dan brainstorming bersama teman-teman satu profesi, sangat mudah memancing ide dan semangat menulis.

Demikianlah, sebagian kecil pengalamanku mengikuti kelas menulis. 

Buatku, dunia belajar melalu kelas menulis inilah yang membuatku mampu menulis dan menjadi mentor menulis seperti sekarang.

Rasa-rasanya akan lebih sulit buatku untuk bisa mencapai posisi saat ini, jika aku tidak ngotot belajar menulis melalui kelas-kelas dari banyak penulis berpengalaman..

Jadi, kamu tunggu apa lagi? Yuk segera ikutan kelas menulis. Aku juga punya rencana beberapa bulan lagi akan buka kelas online menulis novel anak, mulai dari awal hingga 2 bab pertamanya. InsyaAllah.

Wish me luck and good luck for u.... 

#diarypenulis
#kelasmenulis

Jul 31, 2020

Niat Menikahmu Adalah Ujian Rumah Tanggamu

gambar ambil dari sini




Niat dan Ujian 

Kita sering sekali mendengar hadish yang menyatakan, bahwa amalan seseorang itu bergantung pada niatnya. Dan ia kan mendapatkan sesuatu itu sesuai niatnya.

Aku, lalu mencari hadish ini di internet, dan menemukan yang lengkapnya berbunyi : 

Dari Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia atau karena wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai ke mana ia hijrah.” (HR. Bukhari, Muslim, dan empat imam Ahli Hadits)

Baik...

Aku sedang tidak ingin berceramah. Selain memang bukan kapasitasku, juga karena ilmuku yang minim terkait hal ini. 

Namun, ada satu hal, yang ingiiin sekali kutuliskan sejak beberapa waktu lalu. Tentang Niat ini dan kukaitkan dengan Ujian hidup setelah berumah tangga.

Terus terang, awalnya aku tidak terlalu ngeh dengan kondisi yang kuhadapi sekarang, adalah terkait dengan niat awal ketika aku menikah. Setelah nyaris 21 tahun menikah (Semoga Allah melanggengkan pernikahanku dan menjadikannya SAMARA, amin), aku kemudian berpikir mundur ke awal pernikahan.

Dulu, saat aku pertama kali hendak menerima lamaran seorang laki-laki, sebetulnha niat apakah yang terbersit dalam hati? Niat seperti apa yang terlontarkan  dan niat macam apa yang sanggup tertulis dalam pikiranku?

Sungguh,... kala menerima lamaran Ayah Billa Aam, aku ndak pernah terpikirkan, bahwa kelak di kemudian hari, aku akan merasakan "nikmatnya" buah dari niat sebelum menikah tersebut.

Oke, sebelum aku cerita tentang pengalaman pribadi, yang bisa saja sangat subyektif, atau bahkan mungkin saja, hanya kualami sendiri, maka ijinkan kutuliskan sedikit tentang makna niat dan ujian.

Jadi, kita samakan dulu nih persepsi, tentang gimana sebetulnya niat tersebut, dan apa yang dikategorikan ujian dalam tulisan ini?

Aku menggunakan kamus online, tentu saja. Jadi dijelaskan bahwa  Niat (Arab: نية Niyyat) adalah keinginan dalam hati untuk melakukan suatu tindakan yang ditujukan hanya kepada Allah. Sementara dalam KBBI Online, dinyatakan bahwa ni·at n 1 maksud atau tujuan suatu perbuatan: 2 kehendak (keinginan dl hati) akan melakukan sesuatu.

Oleh karena itu, aku mengonsepkan pengertian niat, sebagai keinginan hati untuk melakukan suatu tindakan atau tujuan atas sebuah perbuatan atau sebuah kehendak dalam melakukan sesuatu. Niat karena Allahnya, kutulis belakangan. Karena terus terang, saat menerima lamaran dulu itu, meski kuupayakan karena Allah, tapi tetap aja ada niat tambahan atau embel-embel, yang memberiku sejumlah ujian atas konsepku tersebut. 

Sementara, pengertian Ujian, bukanlah sejenis dengan ujian sekolah atau tertulis sekalipun. Ini lebih kepada upaya yang muncul dalam mengukur atau mengetahui mutu ketahanan diri atau rumah tangga dalam hal ini. 

Ini kusimpulkan dari pengertian Uji dan Ujian dari KBBI Online. Bahwa :  uji1 n percobaan untuk mengetahui mutu sesuatu (ketulenan, kecakapan ketahanan, dan sebagainya). Sementara  ujian adalah 1 hasil menguji; hasil memeriksa; 2 sesuatu yang dipakai untuk menguji mutu sesuatu (kepandaian, kemampuan, hasil belajar, dan sebagainya).

Baiiiik. Segitu aja seriusnya yaaa. :)

Sekedar mau kasih gambaran... saat kutulis postingan ini, aku memiliki konsep perihal niat dan ujian,  kayak gitu.

Niat sebelum nikah. Lalu ujian yang didapat setelah menikah.

Tapi, tunggu sebentar....

Apa betul, kalau niat kita sebelum nikah akan diuji setelah nikah?

Wallahulalam.

Kukira, patokan dari hadish yang kucuplik di atas itu, cukup menunjukkan kemungkinan bahwa apapun yang kita lakukan, amalan apapun itu, termasuk menikah, adalah tergantung niat. Rasulullah SAW menyatakan bahwa, seseorang, siapapun dia, akan mendapatkan sesuatu itu, sesuai niatnya.

Jika kita hubungkan dengan pernikahan, maka seseorang, akan mendapatkan bentuk pernikahannya, lengkap dengan ujiannya, sesuai dengan niat.

Kira-kira gitu pola otakku berpikir. Teman pembaca boleh setuju, boleh nggak kog. Kan dari awal sudah kubilang, bisa jadi tulisan ini sangat subyektif, meski aku tetap mencoba mendasarinya pada hal-hal yang logis. 

Nah...

Sekarang aku akan coba masuk ke inti tulisan. Hehehe dari tadi, rupanya baru prolog toooh? *smile ear to ear.

Aku ingin menceritakan apa yang terjadi pada diriku, tentang kejadian paska pernikahan, yang bisa jadi, awalnya tidak kurasakan sebagai ujian yang terkait dengan niat awal nikah. Namun, semakin ke sini, semakin terasa, bahwa demikianlah Allah menetapkan fase hidupku sebagai manusia.

Jika niatnya banyak embel-embel diluar karena Allah, maka ujiannya juga seputaran embel-embel tersebut. 

Aku, Niat dan Ujian Pernikahan 

Jadi, begini teman pembaca sekalian... 

Mau narok foto pernikahanku, tapi waktu itu belum berhijab sih.
jadi pinjem foto ini aja 
kurang lebih pakaian kami gini lah dulu.. hehehe
Anggap saja, foto diperagakan oleh model. hihi

Hampir 21 tahun yang lalu, kala aku dilamar seorang laki-laki yang baik dan sholeh, usiaku baru 25 tahun. Dan kupikir, aku terima sajalah lamarannya, niat awal bisa jadi karena Allah, namun juga karena aku ingin menyenangkan hati orang tuaku terutama Papa. Aku juga mencari suami yang mendukung karir dosen dan pendidikanku. Aku ingin sekolah setinggi-tingginya. Kalaupun punya anak, pengennya banyak juga sih. Biar rame. Karena aku hanya 3 bersaudara dan perempuan satu-satunya. 

Sementara suami, setelah kuingat-ingat, selain niat dia menikah karena Allah, niat utamanya juga ingin menyenangkan hati orang tuanya, terutama Mami mertua, juga mencari istri yang mendukung keinginannya,  membantu orang tuanya menyekolahkan ke 5 orang adik-adiknya hingga kelar kuliah.

Sampai di sini, tidak ada yang aneh dari niat kami berdua. Iyakan? 

Hingga kemudian pernikahan terjadi, dan satu demi satu ujian hadir dalam hidupku, dan bisa jadi dirasakan juga oleh suami. :) 

Hemmm...

Yakin, masih tertarik untuk lanjut membacanya? 

Oke deh kalau yakin... Soalnya bakalan panjang nih tulisan..:) Tapi aku tulis yang kisah besarnya saja ya...

Niat Menyenangkan Hati Orang Tua

Di antara hal yang kami anggap menyenangkan hati orang tua adalah, aku dapat berkarir baik di dunia mengajar ilmu hukum di kampus, dan suami bisa menyekolahkan adiknya 5 orang hingga kelar kuliah (meski salah satu ada yang tak sampai selesai, karena keinginannya sendiri). 

Karena niat inilah, kemudian ujian yang kami terima adalah, saking fokusnya kami pada kebahagiaan hati orang tua, (tak perlu kuceritakan gimana jungkir baliknya suami dan aku dalam menciptakan perasaan bahagia itu), maka kami mendapati kenyataan, bahwa kami harus berhemat ketat, tak bisa memenuhi keinginan pribadi berdua terkait harta dunia, seperti kendaraan atau rumah yang layak tinggal. Mengandalkan beasiswa, bagi sekolahku pun adalah wujud upaya menyenangkan orang tua.

Tapi, sisi positifnya, karena kami belum dikaruniai anak, maka kami berhasil menjalaninya tanpa beban berat. Kami fokus pada keluarga besar dan dilakukan dengan tawakal. Sehingga saat melihat hasilnya, saat saudara-saudara kelar kuliahnya hingga turut mengantarkan  di antara mereka menikah dengan lancar, rasanya luar biasa senang. Apalagi kalau melihat tawa bahagia Mami, Papi mertua atas pengabdian anak sulung mereka (suamiku), ataupun senyum bangga Papa dan Mama terhadap perjalanan karir kuliah dan mengajarku. 

Sampai sini, kayaknya semua berjalan baik. Perjuangan kami mencari materi untuk semua itu, berhasil kami tahlukkan dengan berhemat,sehemat mungkin. Tak jarang aku sering mendengar cemooh "istri perwira kapal kog gak punya hape?" atau "gaji dollar, kog rumahnya nyewa?" dan bahkan ada sodara yang nyelekit banget bilang "lain kali kalau ke sini mobilnya ganti ya. Gak malu apa, pinjem mobil tua milik sodara si Dian mulu?"

Hahaha... sekarang sih aku bisa ketawa geli. Tapi tidak saat peristiwa itu terjadi. Mengikhlaskan semuanya demi kebahagiaan orang tua, adalah ujian dari niat awal pernikahan kami. Bahkan ujian berikutnya naik level banget, setelah kami berhasil mengantarkan adik-adik kelar kuliah, dan punya sebuah rumah seken yang dibeli dari hasil tabungan mati-matian kami selama 7 tahun menikah.

Niat Sekolah Setinggi-tingginya. 

pinjem dari sini 

Untuk niat yang satu ini, ujiannya juga keren nih. Aku yang mengira tak akan dikaruniai anak karena kondisi kekuranganku, akhirnya fokus pada sekolah. Dari S1 lanjut S2, dan jeda 1.5 tahun lanjut s3. Walhasil, waktu itu, usiaku baru 32 tahun, aku lulus Kandidat Doktor. Proposal Disertasiku lulus dengan nilai A. IPKku hingga semester ke 5 itu adalah 4.00.

Kayaknya, mimpiku menjadi doktor pun akan segera menjadi kenyataan.

Hehehe

Tapi itukan pengennya aku ya? Inginnya seorang manusia.
Ketetapan akhirkan hanya milik Allah.

Setelah disindir bertahun-tahun tak punya anak, karena dianggap aku gila sekolah. Lalu ketika aku sekolah, dihina dengan fitnah menghabiskan uang suami untuk sekolah. Akhirnya ujiannya naik tingkat.

Aku diminta oleh dokter kandunganku untuk memilih.

"Ibu mau punya anak, atau terus menekuni buku-buku setebal bantal itu? Karena hormonal Ibu yang tak beres itu, dipengaruhi juga oleh rasa capek kerja otak mendalami teori-teori dari buku-buku kuliah Ibu."

Jreng...Jreng...

Sebuah ujian baru. Sebuah pilihan hidup lagi. Sebuah tantangan dalam bersikap. Mana yang kau pilih Dian? Berusaha untuk punya anak atau menyelesaikan S3 yang tinggal sedikit lagi?

Tak ada pilihan yang bisa memenuhi keduanya. Ada banyak ujian yang kuhadapi demi sekolah tinggi-tinggi ini sebelum nikah. Dan pada akhirnya, aku memilih meninggalkan diktat dan buku-buku tebal itu, demi menjalani segenap proses terapi, agar berhasil memiliki momongan.

Mudahkah?

Alhamdulillah, jika dibandingkan dengan teman-teman lain yang bertahun-tahun berupaya, aku boleh dibilang mujur. Setelah 7 kali gonta ganti dokter di 3 daerah. Kemudian 9 tahun menanti. Juga proses 10 bulan terapi, akhirnya Allah mengijinkan aku dan suami punya momongan. Aku dinyatakan hamil,

Dan selanjutnya? Ah, bisa dibaca di sini deh... itu juga kalau teman-teman belum tahu kisahnya. :)

Walhasil, niatku yang dulu ingin mendapat suami yang membolehkan aku sekolah setinggi-tingginya tercapai, tapi ujian berikutnya adalah harus memilih antara sekolah atau terapi untuk punya anak.

Niat kami untuk menyenangkan orang tua lebih dahulu tercapai, tapi harus mengalah dengan bekerja keras dan belum punya momongan dulu, karena awal2 pernikahan kami tidak konsen dan tidak fokus berobat ke dokter. Bahkan dulu tidak ada niatan untuk berdoa khusus punya momongan, di awal nikah dulu.

Niat kami untuk menyelesaikan sekolah adik-adik dulu tercapai, tentunya dengan tidak bisa mengharapkan banyak bisa menyimpan materi demi membeli rumah atau mobil di 10 tahun pertama pernikahan. Hehehe..

Jadilah, setiap yang aku dan suami niatkan di awal pernikahan, menjadi ujian bagi kami berdua.

Hingga, belasan tahun kemudian aku tersadar, bahwa harusnya niatnya hanya satu. Yakni Karena Allah. Bukan karena hal-hal lain. Karena kalau ada bonus niatan lain, tak pernah bisa diduga, jika ujian rumah tangganya muncul lewat niat kedua tersebut. Astagfirullah....

Sekarang, bagaimana dengan niat teman-teman? 

Ada beberapa kejadian di depan mata dan kudengar dari pelaku rumah tangga di sekitarku. Faktanya, Semua pihak ini mengalami ujian rumah tangga, yang jika kita perhatikan, ternyata terkorelasi dengan niat awal. Bisa jadi semua awalnya niat karena Allah. Namun, ada embel-embel yang menyertakan dari pernikahan tersebut.

Berikut beberapan Niat (alternatif atau kedua) dari sebuah pernikahan, yang kuketahui, dan berujung pada ujian kehidupan rumah tangga tersebut:

Niat  Menikah, Agar Punya Momongan

Berdasarkan niat ini, seseorang menikah. Maka ujian yg didapat justru terkait sulitnya punya anak. Ada teman yang sudah menikah dua kali, namun gagal bahkan rahimnya harus diangkat. Beruntung suami tetap setia mendampingi. 

Ada juga kenalan, yg akhirnya punya anak setelah belasan tahun menikah, namun baru beberapa hari lahir, anaknya diambil Allah kembali.

Ujian ini tentu berat sekali, karena kenalanku ini memang niat menikah ingin punya anak. Lisannya dinyatakan padaku, terutama saat kenalan ini memilih menikah lagi dengan orang lain. 

Niat Menikah, Agar Cepat Halal Hubungannya

Kalau ini, kisah seseorang yg tergesa-gesa menikah karena ingin segera halal. Walhasil ujiannya justru muncul dari kata halal tersebut. Suaminya menyekapnya di rumah, dengan alasan halal baginya melakukan h tersebut. Suaminya memukul dan berteriak marah, dengan alasan si Istri tidak patuh dan itu haram. Dan seterusnya. Mengerikan juga jika kupikir. Padahal niat menghalalkan hubungan adalah baik. Tapi bisa jadi, kenalanku itu lupa mendahulukan niat karena Allahnya. 

Niat Menikah, Agar Ada Yang Bantuin Ekonomi Keluarga

Kalau ini seru lagi. Seseorang menikah karena ingin punya suami yg membantu ekonomi keluarga besarnya.
Alhamdulillah menjadi kenyataan. Suami berkecukupan dan ikhlaa membantu keluarga besar istri. Walhasil, ujian rumah tangganya bolak-balik berasal dari keluarga besar yang hingga mereka tua sekalipun, minta dibantu terus secara finansial. Aneh memang. Tapi demikian adanya.

Niat Menikah, Agar Diterima Diri Ini Apa Adanya

Kalau ini, seru juga. Dengan niat demikian, maka suami istri yg aku kenal ini langgeng hingga akhir hayat. Namun konfliknya ya berputar di masalah yang penyelesaiannya adalah "ya sudah, aku nikahin kamu apa adanya." Hehehe. Bahkan suami gak berani mengeluh kala istri terlalu lugu untuk diajak berdiskusi banyak hal. 

Terima resiko atas menerima apa adanya tersebut. 

Niat Menikah, Agar Bisa Menikah Tahun Ini

Ada kenalanku berkeras hati, meniatkan diri harus menikah tahun inj. Terwujudkah? Yup! Terwujud.

Sayangnya, dia lupa menambahkan niat nikah tahun ini karena Allah.

Karena yang terjadi adalah, si Kenalan memiliki sindrom pernikahan ala cinderella. Mengira sebuah pernikahan itu indah seperti cinderella. Hehehe.

Akhirnya? ya sesuai niatnya, ingin menikah tahun ini dan di akhir tahun bercerai. Karena kaget dengan pernikahan yang menurutnha mengekang kebebasannya. Astagfirulah.

Ada banyak lagi sebetulnya kejadian  atau ujian yang menimpa banyak pasangan karena niat menikahnya.

Misalnya, 
Niat menikah, agar tetap bisa dengan pilihan hati. No matter what.
atau 
Niat menikah, karena tergoda fisiknya belaka.
hingga
Niat menikah, karena suka dengan sikap atau karakternya yang berbeda..

Bisa kebayang gak, gimana ujian yg akan mereka hadapi dengan niat-niat menikah tersebut?

Aku pribadi menuliskan semua ini, bukan menakut-nakuti teman-teman yang belum menikah. Bukan itu...

Aku hanya mengingatkan berdasarkan pengalaman yang ada, agar selalu rajin meluruskan niat. Aku melakukan hal tersebut. Kadang lupa, teringat lagi saat datang ujian rumah tangga menyolek hati terkait niat awal dulu. 

Buru-buru istigfar. Meluruskan kembali niat dan memperbaiki kondisi hati agar ikhlas.

Berhasilkah?

Kadang-kadang.

Sulit, ya?

Iyalah. Karena menikah itukan dijanjikan Allah sebagai upaya menggenapkan setengah agama. Mana mungkin dikasih gampang ujiannya. 

Iya, kan?

Jadi, sudah memperbaiki niat ingin menikah saat ini?

#diarybunda
#rumahtangga 








Patah Hati Berbuah Domain Diri

Berdiri di samping banner buku " Dan Akupun Berjilbab" yang aku susun.
Isi buku ini berasal dari lomba "Jilbab Pertama"
yang aku gusung di Multiply tahun 2010, terbit 2011 akhir dan best seller di tahun 2012.


Aku sudah lama mengenal blog. Sekitar awal tahun 2004. Sebelumnya cukup rajin menuliskan kisah dan curhatan hati di blog milik (alm) Friendster.

Belajar ngeblog dengan lebih rutin justru di Blogspot, dan kemudian makin intens di Multipy, yang sebentar lagi akan "membunuh diri".

Aku benar-benar patah hati, ketika tahu Multiply tak akan lama bisa dinikmati. Nyaris pertengahan bulan Ramadan tahun 2012, aku menghentikan tulisanku di sana. Sibuk menyimpan file-file dan akhirnya migrasi ke Blogspot lamaku, dan menjajal areal baru di Wordpress.


Tapi aku kehilangan gairah ngeblog.
read more